"Kenapa to nduk harus kuliah lagi, toh sudah sarjana…” Ibu
Suci tak kuasa melepas putri kesayangannya itu pergi ketika Suci meminta
izinnya untuk menempuh studi jenjang S2 nya di Nanyang Technological
University, Singapura. Tetapi Dia dan kakaknya berhasil meyakinkan Ibunya kalau
Suci akan menyelesaikan studinya setelah berulang tahun ke 26, belum terlalu
terlambat untuk menikah. Lalu berangkatlah Suci dengan sejuta mimpi ke Negeri
Singa.
Kerinduannya akan masakan Indonesia membawanya ke sebuah
resto Tenggarong yang terletak di stasiun MRT Jurong West. Suci tak sengaja
berkenalan dengan seorang Bapak tua berusia 60 tahun, namanya pak Huang. Beliau
adalah seorang muslim yang taat. Saat terjatuh membawa setumpuk piring kotor,
Suci pun menolongnya. Ternyata Ia ditegur keras oleh pemilik restoran, anak
sang bapak tua. Namanya Andrew. Suci geram dengan sikap semena-mena Andrew
kepada bapaknya. Dengan sedikit keras Ia memprotes sikap Andrew dan
mengingatkan bagaimana beratnya seorang bapak membesarkan anaknya sendirian.
Sejak itu Suci sering
menjenguk bapak tua itu.
Selang waktu bergulir, Ketika ia memfokuskan pikiran dan
tenaganya untuk mengerjakan tesis, datanglah seorang pemuda rupawan dari Jogja.
Bram, Kakak angkatannya di jurusan Teknik Lingkungan NTU. Dengan setia Bram
menemani hari-hari suci menyelesaikan tesisnya. Perasaan cinta pun tumbuh di
antara mereka. Pada malam kelulusannya, Bram menyatakan perasaannya dan melamarnya.
Menjelang kepulangannya ke Indonesia, Suci berpamitan dengan teman-temannya dan
tak lupa, bertemu pak Huang, dan juga—Andrew. Dengan suaranya yang lemah, Pak
Huang ingin Suci menjadi menantunya…
Sepulang tanah air, Suci menceritakan soal pinangan Bram.
Kedua orang tuanya sangat bahagia. Di malam bahagia itu, kedua orang tuanya
menceritakan satu rahasia kehidupan Suci yang tidak diketahuinya. Meski terguncang, Suci berusaha
tabah. Suci tahu bahwa Ibunya mengalami goncangan batin semenjak melahirkan
dirinya… dengan kata lain, ternyata sudah lama Ibu Suci hilang kesadarannya, alias tidak waras.
Siapakah yang nantinya menjadi menantu bagi Ibu Suci? Yang siap
menerima keadaan suci lahir dan batin?
Review
Dalam novel ini pembaca akan disajikan sebuah cerita bernuansa sastrawi, yang membuktikan Eksistensi sang penulis sebagai guru bahasa
Indonesia. Dalam suatu bab diselipkan puisi karangan Taufik Ismail—Aku Malu
Jadi Orang Indonesia. Satu puisi yang mewakili keadaan bangsa Indonesia di mata
dunia—yang ternyata juga dialami Suci ketika Ia hidup di negeri orang. Suci diperlakukan
seperti TKW (Tenaga Kerja Wanita) saat berbelanja pada hari minggu. Sejak itu
suci pun Suci selalu berbelanja selain hari minggu. (hari minggu adalah hari
libur nasional, bahkan untuk TKW yang berprofesi sebagai pembantu di sana)
Perasaan pembaca juga akan diaduk-aduk ketika mengikuti
kisah seorang Suci yang cantik, cerdas, baru saja menyelesaikan studi S2 nya di
NTU, harus menerima keadaannya sebagai putri kandung orang yang notabene gila—Ibu
kandungnya yang hidupnya sudah dirundung nestapa sejak Suci lahir ke dunia ini.
Belum lagi ketika tunangannya, Bram, kaget melihat ibu kandung Suci.
Bagaimana kelanjutan
proses pernikahannya kelak? Dan apa kabar dengan satu tokoh lain, Andrew, putra
pak Huang yang ke-Chinese-an itu?
Dengan mengikuti alur cerita hingga halaman terakhir,
pembaca seolah-olah dibawa keliling Singapura; menikmati fasilitas MRT-nya yang
keren abis, membaca buku di pantai Marina bay, makan di resto tenggarong di
sebelah stasiun Jurong West, hingga menyelami kehidupan mahasiswa di sana
dengan segala lika-likunya.
Jenis buku :
Novel, drama romantis, kehidupan
Penulis :
Faradhina Izdhihary
Penerbit :
Farishma Indonesia
Tebal buku :
213 halaman
Cetakan pertama : Januari 2014
0 komentar:
Posting Komentar