Sabtu, 02 Januari 2016

Antara Indonesia dan Belanda

Ini bukan salah satu kisah tentang penjajahan. Sama sekali bukan. Kisah ini berasal dari cerita pamanku, tentang petualangannya yang tak terduga beberapa waktu lalu di Negeri Kincir Angin selama 3 bulan (kurang lebih).
Pamanku tidak berasal dari golongan kurang beruntung. Belum sempat merasakan bangku kuliah, beliau merantau ke Korea untuk mencari nafkah. Seperti bujangan-bujangan lain yang senasib dengannya di kampung halaman.

Kisah ini berawal dari facebook, tak sengaja pamanku berkenalan dengan seorang Nona Belanda yang di-addnya di akun jejaring sosial paling happening di Indonesia: FACEBOOK.
Paman dengan lugunya berkenalan dengan bahasa Inggris pas-pas an mengandalkan fasilitas Google Translate, satu demi satu menerjemahkan percakapan antara Beliau dengan si Nona Belanda yang sangat berbeda bagai bumi dan langit.
Berhari-hari kemudian perkenalan itu tetap berlanjut dan berbuah manis. Apalagi setelah diketahui bahwa si Nona memang sangat welcome dengan orang-orang Indonesia (orang Indo yang memang sama-sama mempunyai niat dan tujuan yang baik dan berteman dengan benar loh ya, hihihi). Karena tak dinyana, Nona Belanda tersebut mempunyai darah Indonesia dari sang Ibu yang orang Jawa tulen sehingga untuk percakapan sehari-hari sederhana sang Nona dapat melafalkan bahasa Melayu-Indo. 
Dengan nuansa keakraban yang semakin hangat, percakapan mereka yang tadinya menggunakan bahasa Inggis (paman yang mati-matian ber-google translate ria.. hehehe peace, om) beralih menggunakan bahasa yang lebih bersahabat, bahasa Indonesia. Sambutan si Nona yang hangat itulah yang membawa pertemanan mereka ke jenjang yang lebih dekat: Sang Nona mengundang Paman untuk berkunjung ke kediamannya di Belanda.
Waktu membaca undangan istimewa itu, Paman hanya terpaku lama di depan layar kecil handphone-nya. Merenung lama sekali. Bagaimana aku bisa pergi ke Belanda? Tabunganku hasil nguli di Korea saja sangat pas-pasan untuk kebutuhan Ibu, dan si Nona ini, dengan santainya mengundangku untuk berkunjung ke Belanda?
Paman menelan ludahnya. Pahit.
Karena tak kunjung mendapat respon dari Paman, Nona itupun memaklumi kegamangan Paman yang klise dengan melanjutkan percakapan: Sweetheart, apakah kamu mengkhawatirkan biaya? Maaf jika ucapanku lancang, tapi Aku memang bermaksud mengundang Anda yang selama ini telah mau berteman baik denganku di Dunia Maya, semuanya Aku yang menanggung. Karena menurutku, kamu benar-benar orang yang berteman dengan tulus. Bersediakah kamu mengunjungi Belanda? untukku?
Seketika Paman menangis memandangi layar kecil hape-nya yang berkedip-kedip menerima pesan panjang sang Nona. Subhanallah, jika memang Nona ini benar-benar jujur mengundangku…
Paman mulai mengetik: tapi… (sent)
Dalam sekejap Nona itu menjawab: Sayang sekali saya mendapat jawaban tapi. Sweetheart, apakah kamu meragukan undanganku? Apakah kamu kira perkenalan kita selama berbulan-bulan ini di facebook hanya bualan semata?
Paman merasa tak enak dengan kelanjutan percakapan ini. Dengan pertimbangan singkat beliau mengetik: Tidak, Non (panggilan untuk si Nona belanda), Saya sangat tidak bermaksud begitu. Saya percaya kamu. Saya sangat memercayai pertemanan dan obrolan kita selama 3 bulan terakhir ini…
Nona : Lalu, apakah ini berarti kamu bersedia ke Belanda?
Paman : Saya malu sebagai laki-laki, non
Nona : … (lama sekali menunggu respon si Nona)
Tolonglah, saya tidak main-main, sweetheart. Menurutku, kamu lah satu-satunya teman Indonesiaku yang menganggapku teman tanpa maksud apapun..
Paman : …
Paman serba salah. Di satu sisi dia sangat gembira karena mendapatkan tawaran ke Belanda gratis, tetapi sebagai lelaki normal dia gengsi. Bayangkan, laki-laki normal yang masih bisa bekerja, dibayari oleh wanita? 

0 komentar:

Posting Komentar