Sabtu, 10 April 2021

Suami: Teman Hidup "Setara" untuk Istri

 Waktu remaja, aku tak pernah membayangkan jika ikatan cinta bernama pernikahan itu butuh restu semesta. Gak bisa dipaksakan (misal dipaksakan, pasti endingnya gak enak). Aku hobi memaksakan kehendak, yang akhirnya sering menyakiti diriku sendiri (wkwkwk sukurin!).

Beruntungnya aku di pertengahan usia 20-an ku, tepatnya di usia 24 tahun 6 bulan empat tahun lalu, aku dipertemukan jodohku. Finally!! 



Saat itu proses move on-ku dari kisah percintaanku yang selalu kusut hampir selesai. Lelaki bermata tajam itu terlihat kikuk di kursinya. Tapi setelah aku tiba-tiba bertanya tentang hal-hal out of the box tentang cerita masa lalu di pesantren dulu, di luar dugaanku dia mulai bercerita panjang lebar, yaang membuat proses perkenalan kami semakin "mulus", seperti masuk jalan tol. Prosesnya yang cepat, lancar dan membahagiakan membuat kami tak merasakan galau pra-nikah. Agak sembrono memang. Tapi, namanya Johan, ya. Ga ada yang tahu. (Johan: Jodoh dari tuHan)

Sejak awal menikah, aku selalu menekankan betapa pentingnya komunikasi yang pro aktif di antara kita. Paling anti kode-kode-an. Selama bisa diomongin, ya ngomonglah yang baik. Apalagi keluarga besar yang tinggal berdekatan, membuat kita berdua harus lebih piawai dalam menjaga hati banyak orang.

Teman Hidup, Setara, tak selalu se-Iya, tapi se-Rasa

Experience is the best teacher. It works for me. Finding a great husband is like building your dream home. You work on it.

3 tahun dan  dua anak: kerja keras dan kerja ikhlas. Makasih ya, sayang, udah jadi suami dan ayah yang baik. I knew you'll make a good husband and father. Meskipun aral melintang, tetep gandeng mesra tanganku, yo, ojo ragu-ragu. Mantep terus pokoke persis kayak waktu kamu lantang meminangku dulu.

Maaf kalo aku sering ngajak debat. Aku cuma mau nemuin your true colour. Kalo ga pake debat, ga keliatan aslinya. Biar kemampuanmu berargumentasi juga meningkat tajam. Ternyata sukses, to. HIHIHI. 

Terimakasih untuk selalu menjadikanku teman setara untuk berdiskusi, bertengkar, merajuk, momong anak, dan dalam banyak hal yang akan kita hadapi di masa depan nanti. Aku tahu di luar sana masih banyak suami yang menyepelekan istrinya sendiri, tanpa tahu manfaat memuliakan istrinya dengan menjadikannya teman SETARA.

Tetep jadi versi terbaik dirimu, ya, My partner in life. XOXO

Selasa, 23 Februari 2021

Sejuta Mimpi Umi

Siapa sangka jika tahun 2021 ini aku sudah punya dua buntut sekaligus, yang akan selalu ngintil di belakangku? Nggak nanggung-nanggung, dua sekaligus: putri pertamaku berusia 30 bulan per Februari ini, dan putraku baru berusia empat bulan. Wowww :) 

Bahkan tiga tahun lalu (2017) pun aku masih belum kepikiran punya anak, karena calon suami pun belum nemu. Tidak, bahkan walaupun menikah dan punya anak masuk dalam lima besar impian teratasku, tapi aku tidak menyangka bahwa aku akan menghadapinya di usia 20-an ku. Benar-benar satu kejutan besar di episode kehidupan usia 20-an ku yang sangat "nano-nano".

But Life goes on and on, aku selaku pemeran utama kisah bernama kehidupanku sendiri, akan menghadapinya dengan berbagai konsekuensi dari keputusan-keputusan teledor masa laluku. Menjadi ibu selama 30 bulan terakhir mengajarkanku untuk tidak diam saja menghadapi keadaan. Menjadi ibu berarti harus bergerak, ibu harus bekerja, ibu harus berkarya dan mempunyai mimpi-mimpi supaya tidak "mati" dalam artian yang sesungguhnya.

Trigger bernama KMO

Akhir tahun 2020 menjadi tonggak penting dalam sejarah hidupku. Berkat ajakan umi (ibuku), aku mengikuti sebuah komunitas menulis bernama KMO (Komunitas Menulis Online) yang didirikan oleh Kak Tendi Murti. Setelah mengikuti proses sarapan kata selama 30 hari terakhir, akhirnya aku menuliskan 10.000 kata pertamaku yang akan menjadi buku solo perdanaku. Di tengah rempongnya mengasuh dua bayi sekaligus ternyata aku berhasil menulis. Apalagi dengan suasana Pandemi dan Bencana dimana-mana, aku sangat bersyukur menemukan kegiatan positif ini. Banyak pikiran buruk yang berhasil kusingkirkan jauh-jauh karena aku benar-benar terfokus ke satu kegiatan menulis ini.

Pagiku selalu lebih berwarna dari pagi-pagi sebelumnya. Aku masih kelelahan setiap bangun pagi (Maklum, busui/Ibu menyusui masih bangun tiga-lima kali dalam semalam untuk menyusui bayik), tetapi aku lebih bersemangat karena harus bersiap upload tulisan ke Facebook KMO dan akun Instagram ku.

Ketika program sarapan kata KMO club berakhir minggu lalu, ternyata aku benar-benar kehilangan suasana pagi alarm jam enam, tanda bahwa aku harus mengupload tugas. Ah, rindu. Terima kasih KMO, telah menyuburkan semangat menulis dalam diriku yang hampir kulupakan setelah aku menjadi seorang umi (ibu).

Menghidupkan Mimpi-mimpi

"Ca, apa mimpimu?" tanya abah padaku setahun yang lalu. Bahkan saat usiaku sudah menginjak 25 tahun lebih, aku masih gelagapan untuk menjawabnya. Aku punya banyak sekali mimpi, yang akhirnya kukubur hidup-hidup sejak kutinggalkan bangku kuliah beberapa tahun yang lalu.

Namun bara api bernama mimpi masih meletup-letup dengan baik di dada. Aku masih memilikinya. Aku memang sudah jadi emak-emak, tapi aku masih punya mimpi yang harus kuwujudkan, demi kebahagiaanku sendiri.

Doakan umimu ini ya anak-anakku. Semoga kalian selalu bersabar mengiringi umi dalam mewujudkan cita-cita. :)

Dengan dukungan penuh dari suami tercinta dan orang tuaku, Bismillah, untuk menjadi sebaik-baik Insan.


Lirik lagu untuk suami tercinta:

Hidupkan lagi mimpi-mimpi (cinta-cinta)
Cita-cita (cinta-cinta)
Yang lama kupendam sendiri
Berdua 'ku bisa percaya
'Ku bahagia kau telah terlahir di dunia
Dan kau ada di antara miliaran manusia
Dan 'ku bisa dengan radarku menemukanmu
_Perahu Kertas_


 

Sabtu, 13 Februari 2021

Ibu Tanpa Dukungan

Setelah jadi ibu, ada satu hal penting yang kupelajari yaitu tahu cara meminta tolong saat benar-benar membutuhkan. Karena aku tidak akan sanggup berjuang sendirian. It says, it takes a village to raise a child. Jadi daripada aku berpayah-payah sendirian, aku berusaha semaksimal mungkin melibatkan suamiku dalam pengasuhan anak, termasuk dalam urusan ganti popok dan memandikan bayi. Karena aku dan suami hanya tinggal sendiri di rantau tanpa bantuan Asisten Rumah Tangga.
Jika mengingat proses ta’aruf sebelum menikah dengan suami dulu, aku memantapkan diri untuk menikah dengannya karena dari sorot matanya yang terlihat selalu sedih, ada suatu sorot kelembutan yang membuatku yakin bahwa dia akan menjadi sosok suami dan ayah yang baik untuk anak-anakku. Waktu pun membuktikan itu. Suamiku bahkan berani mendampingiku selama berjuang melahirkan. Padahal aku mengalami ketuban pecah dini, dan selama persalinan terus menerus mengeluarkan darah. Butuh mental baja untuk berani mendampingi proses persalinan yang “seperti” itu.
Aku makin memercayakan urusan pengasuhan kepadanya. Jika seorang ibu tidak melibatkan suaminya dalam pengasuhan anak sejak dini, maka dia akan semakin sulit melakukan ikatan dengan anak karena tidak pernah diberi kesempatan.
Pagi ini seorang teman dari grup chat supermom 2018 mengirimkan chat berupa curhatan tentang suaminya yang tidak mau tau tentang urusan pengasuhan anak sama sekali.
“Mak, aku pengen suamiku juga ikut bantu urus bayi dikit-dikit. Tapi tiap kusuruh bikini sufor selalu menolak. Ada aja alasannya. Aku di titik ogah minta tolong ke suamiku lagi,” I feel you, mak. Aku sepertinya pernah di posisi ini. Tapi aku berhasil mengajak suamiku untuk lebih peduli.
“Aku juga sebentar lagi berangkat kerja, mak. Sedangkan ART belum dapat juga sampai detik ini. Ada saran kah, harus cari ART khusus mengasuh bayi dimana? Kebetulan ibuku masih bekerja, jadi tidak bisa dimintai tolong mengasuh cucunya.”
Melihat keadaan ibu satu ini, jujur, di hati yang paling dalam, aku bersyukur karena mempunyai suami yang sangat suportif. Dia selalu mendukungku dalam banyak hal, termasuk urusan eksistensi diri, seperti membolehkanku untuk tetap aktif berorganisasi walaupun sudah menikah. Aku yakin jika berada di posisi ibu itu pasti sudah uring-uringan tak karuan. Sudah harus kerja, eh, suami gak mau tahu urusan anaknya sama sekali. Lalu apa gunanya menikah dan punya suami?

Perempuan hanya punya 3 tugas kodrati, yaitu hamil, melahirkan, dan menyusui. Selebihnya adalah tugas-tugas kehidupan yang sama seperti laki-laki.
Artinya, masak dan mengurus rumah, mendidik anak, itu bukan tugas kodrati perempuan. Tidak ada kodrat yang melekat di situ. Itu adalah tugas bersama, laki-laki dan perempuan.
(Dari postingan facebook Dr. Hasanudin Abdurrahman, 8 Maret 2018)

Aku sangat setuju dengan status facebook ini. Betapa berat tugas pengasuhan anak jika hanya dibebankan kepada perempuan. Padahal menurut kitab suci Al-qur’an, sosok pendidik terbaik justru hadir dari kaum laki-laki, yaitu Nabi Ibrahim dan Imran, ayahanda Maryam, ibunda Nabi Isa.
Hari ini grup whatsapp supermom ramai karena curhatan ibu satu ini. Ada yang menyemangati, memberi solusi, bahkan ada yang ikut curcol, curhat colongan.
“Suamiku juga begitu, mak. Sebel banget deh liat dia main game mulu. Padahal aku kerepotan urus anak,” balas seseorang di grup.
“Suamiku cukup membantu, mak. Kecuali ganti popok. Masih ogah sampe sekarang,”
“Ayo mak, ajak suami terus sampe mau terlibat dalam pengasuhan anak,” seseorang lagi menyemangati teman yang suaminya belum mau terlibat, agar berusaha lebih keras untuk mengajak suaminya.
Sungguh, aku saksi hidup pernikahan orang tuaku, betapa kelanggengan dan kebahagiaan pernikahan mereka setelah punya anak ditentukan oleh ketersalingan dan pengertian yang mendalam tentang berbagi peran, tidak membebankan tugas pengasuhan hanya kepada salah satu pihak saja.
Sering kali karena salah satu pihak memilih untuk memendam perasaan saat kerepotan mengurus anak, biasanya pihak istri, akan menjadi bom waktu yang akan meledak suatu saat nanti. Bisa 3-5 tahun kemudian, bahkan saat anak-anaknya sudah dewasa kelak. Saat anak tiba-tiba berulah dan memiliki masalah pelik, dan seorang suami menyalahkan istrinya akan keadaan tersebut, masalah ini dapat menyebabkan konflik yang lebih besar.
Pola komunikasi yang baik selama menjadi suami istri berpengaruh pada keharmonisan rumah tangga setelah punya anak, agar tidak terucap kata-kata seperti ini, “kamu sih, enak. Selama ini gak mau tahu urusan anak. Saat anak bermasalah, justru menyalahkanku. Lalu kemana saja kamu selama ini, sebagai seorang bapak?”

Skala Prioritas Ibu

 Setelah menempati rumah sendiri tanpa keberadaan orang tua, mertua, dan adik membuatku mengubah skala prioritasku. Terutama saat pagi hari. Prioritas utamaku adalah sarapan pagi siap maksimal jam 06.30 WIB, karena suamiku sudah harus di kantor pada pukul tujuh tepat. Entah karena cuaca kotanya yang nyaman atau mungkin karena ketenangan hatiku yang menular ke putri kecilku, rentang tidur malam bayiku jadi jauh lebih panjang dari biasanya. Aku bisa memanfaatkan waktu tidurnya untuk memasak, mandi, dan beres-beres rumah.
Pagi ini aku memasak menu sederhana: sayur ca sawi dan tempe goreng, menu andalan umiku jika sedang terburu-buru. Tepat saat aku selesai masak, suamiku selesai mandi. Aku melihat jam dinding. Masih jam 06.10 WIB. Aku bisa menyempatkan diri untuk mandi pagi. Aku menikmati setiap kucuran air yang membasahi muka. Setelah punya bayi, jarang sekali aku bisa menikmati momen mandi. Biasanya setiap mandi seperti dikejar-kejar waktu.
Aku menemani suamiku sarapan.
“Yang, makan tempe aja gak papa, to?”
“Asal makannya sama kamu, makan nasi pakai garam aja gak papa buatku,” gombal parah. Aku mencubit pelan hidung mancungnya.
“Mulaiiii jurus gombalnya,”
“Serius, sayang. Kalau sama kamu, aku ngerasa bisa melakukan semuanya,” benar juga. Suamiku yang awalnya sangat pemalu menjadi percaya diri dan berani tampil di depan umum setelah menikah denganku. Aku akui ini salah satu perkembangan besarnya.
“Lanjut nanti lagi ngobrolnya. Sekarang mari kita sarapan menu sederhana ini. Takut kalau kamu terlambat,” ucapku.
Pada pukul 06.40 suamiku berangkat kerja. Setelah motor suami menghilang di tikungan, aku bergegas membereskan piring kotor dan mulai mencucinya. Tak lupa menggiling pakaian kotor dalam mesin cuci otomatis. Aku benar-benar beruntung mendapatkan rumah kontrakan yang selain bagus isinya juga sangat lengkap, termasuk mesin cuci otomatis tadi. Rejeki ibu solehah, alhamdulillah.
Aku menggunakan waktu yang tersisa untuk belajar tentang MPASI (Makanan Pendamping ASI). Dua bulan lagi aku akan memberi bayiku MPASI, jadi paling tidak aku punya bekal informasi yang memadai untuk menghadapinya. Pada pukul tujuh persis, bayiku menangis terbangun. Saatnya memulai pekerjaanku yang sesungguhnya. Momong bayi.

Tetangga Baru

Harta yang paling berharga adalah keluarga
Istana yang paling indah adalah keluarga
Puisi yang paling bermakna adalah keluarga
Mutiara tiada tara adalah keluarga
Sepertinya lagu ini sangat pas diputar dalam suasana pagi ini. Nenekku yang berusia hampir 80 tahun sedang menyiapkan sarapan pagi untuk kami semua: anak, mantu, cucu dan cicitnya. Kami berkumpul untuk menikmati sarapan pagi dalam momen pindahan rumahku. Menu utamanya adalah nasi kluban, sayuran berbagai macam yang direbus dengan topping sambal parutan kelapa dan lauk pauk dari ayam opor, tahu dan tempe kuning serta tak ketinggalan ikan teri. Nikmat sekali rasanya karena dinikmati bersama orang-orang yang kusayangi.
Anakku yang baru berusia empat bulan masih sering tertidur setelah sesi menyusui. Sepupuku yang berusia 7 bulan sedang disuapi oleh ibunya, tanteku. Aku membantu nenekku supaya lebih cepat menyiapkan sarapan bersama ini.
“Ca, kayaknya ada sayur kelilingan di depan rumah. Beli sekalian buat stokmu di kulkas. Sekalian kenalan sama tetangga sekitar sini,” kata umi.
“Oke mi, tak ambil uang dulu,” jawabku sembari berjalan masuk kamar, mengambil dompet.
Ketika aku keluar rumah, beberapa ibu sedang mengerumuni tukang sayur keliling. Aku tersenyum ke arah mereka, yang langsung dibalas dengan senyuman ramah dari mereka. Mayoritas ibu separuh baya, di atas usia umiku mungkin.
“Baru pindahan ya, mbak?” tanya seorang ibu berkacamata. Aku mengangguk.
“Nggih, bu, semalam malam pertama di sini,” jawabku.
“Pantesan, aku kayak denger ada suara bayi. Bayi jenengan, kah?”
“Oo iya bu, bayi saya mungkin semalam menangis. Maaf ya, bu, mengganggu istirahatnya,”
“Walah, gak apa-apa mbak. Maklum kalau bayi menangis,” aku melanjutkan obrolan pagi sambil memilih sayuran, berkenalan dengan tetangga baruku satu-satu. Ternyata benar dugaanku, mayoritas nenek-nenek yang usianya jauh di atas ibuku. Ada eyang Uti, eyang Emo, bu Tatik, dan dokter Risna. Ketika nenekku berjalan keluar rumah membuang sampah, aku pun memperkenalkan nenekku. “Niki simbah saya, bu,”
“Sehat nggih mbah,” ujar bu Tatik.
“Nggih, Alhamdulillah bu. Titip cucu saya ya bu, kalau nakal dijewer mawon,” ucap nenekku disambut derai tawa dari ibu-ibu tetangga baruku. Aku pun ikut tertawa. Dasar, mbah Mun. Bisa aja bercandanya.

2019: Awal yang Baru


Pagi ini aku bangun dengan badan yang lebih bugar dari biasanya. Adzan subuh berkumandang dari masjid As-sakinah, masjid di dalam kompleks perumahan. Aku membangunkan suamiku untuk segera mengambil wudhu. Setelah membangunkan suamiku, aku bergegas ke kamar mandi untuk buang air kecil dan, brrrrrr, air sejuk pegunungan menusuk kulitku seketika. Dingiiin sekali. Benar-benar kontras dengan cuaca di kotaku dulu. Suamiku beranjak dari tempat tidur begitu aku masuk kamar.
Setelah solat subuh, aku menyeduh dua cangkir teh panas untuk menghangatkan badan. Suamiku masuk rumah setelah menunaikan solat subuh berjamaah. Aku tersenyum simpul ke arahnya.
“Buatku, yang?” tanyanya polos.
“Of course, honey,” aku mengedipkan mata.
“Kenapa kok senyum terus? Masih pagi loh ini?”
“Pilih disenyumin ato dicemberutin?” tanyaku jahil.
“oke, oke, pilih disenyumin aja deh,” aku mengulurkan cangkir teh kepada suamiku.
“Ternyata enak banget ya rasanya serumah sama kamu aja gini. Gak ada yang gangguin. Cuma ada kita bertiga. Kita jadi punya privacy. Kenapa gak dari dulu aja?”
“Semua udah yang terbaik kok, yang… Kamu jadi dapet training momong anak langsung dari Umi sama Mom. Jadi syukuri apa yang sudah terjadi,” suamiku mengingatkanku. Aku mengangguk setuju.
Hari ini tepat tanggal 1 Januari 2019. Aku mengawali pagiku di udara sejuk tanah rantau Salatiga, bersama suamiku dan si bayi yang masih tertidur pulas. Aku bisa mengobrol santai dengan suamiku sampai matahari terbit. Kami menunggu keluarga besarku datang dari Kendal. Seperti sudah tradisi di keluarga umiku, jika ada anggota keluarga yang boyongan/ pindahan rumah, maka anggota keluarga yang lain saling support dengan mendatangi rumah baru dengan makan nasi kluban bersama, mensyukuri nikmat pindahan rumah. Sekaligus menitipkan keluarga yang pindahan kepada tetangga sekitar.
Pada jam setengah tujuh pagi, suara klakson mobil yang khas terdengar di depan rumah. Pasti mereka sudah datang. Aku membukakan pintu. Benar, mobil putih milik abah. Begitu pintu mobil terbuka, aku melihat wajah abah, umi, budhe, pakdhe, nenek, tante dan kedua anaknya. Formasi lengkap. Aku mengawali tahun baru ini dengan nuansa kekeluargaan yang erat.
2019, aku siap momong anak!

 

Pindahan Rumah!


Aku dan suami sepakat akan pindahan ke rumah kontrakan di penghujung tahun 2018 ini. Kepala sekolah di tempat suamiku bekerja telah mengirim pesan via whatsapp bahwa kami boleh memakai salah satu rumah milik wali santri yang tidak digunakan. Kondisi rumah fully furnished, berperabot lengkap. Jadi kami tak perlu membawa banyak barang dari rumah Kendal.
Setelah beberapa bulan “training” langsung dengan umiku dan mom (ibu mertua) tentang dunia momong anak, aku mengizinkan diri sendiri untuk mulai percaya diri bahwa aku bisa mengurus bayiku. Keluarga besar umiku yang terdiri dari nenek, om, tante, budhe dan sepupu-sepupuku akan mengantar saat pindahan nanti. Nenekku sudah bersiap memasakkan nasi kluban untuk dibagi-bagikan ke tetangga sekitar saat pindahan nanti.
Pada tanggal 31 Desember 2018 aku dan bayiku diantar oleh orangtuaku ke Salatiga. Kami sengaja berangkat sehari sebelum keluarga besar tiba untuk survei langsung keadaan rumah yang akan kutempati. Tol Semarang-Solo baru saja jadi. Abahku ingin menjajal tol baru, jadi kami bablas Solo dan makan siang di Pasar Songgo Langit, Surakarta. Jarak Kendal-Solo yang biasanya hampir empat jam hanya ditempuh selama dua jam via tol. Sebelum adzan ashar berkumandang, kami sampai di depan rumah kontrakanku, rumah tipe 45 berpagar hitam di perumahan baru yang sangat asri. Begitu kami masuk kompleks perumahan, nuansa sejuk dan damai meliputinya. Suamiku sudah menunggu di beranda. Seketika aku disambut hawa dingin kota ini, kontras sekali dengan cuaca di kotaku, Kendal.
Aku cukup beruntung karena mendapatkan rumah yang benar-benar siap huni. Sudah terpasang kompor gas dan water heater, satu keharusan di tengah dinginnya kota Salatiga. Jika sewaktu-waktu ingin mandi air hangat, aku tak perlu memanaskan air lagi. Kondisi rumah cukup berdebu karena hampir setahun tidak dihuni oleh pemiliknya. Sore itu kami gotong royong membersihkan rumah. Tepat setelah berjamaah solat maghrib, orang tuaku berpamitan pulang. Umiku memelukku agak lama. “Yang rukun ya, kalian cuma bertiga di sini. Kalau ada apa-apa hubungi kami,” bisik umiku. Aku mengangguk.
Satu episode baru kehidupan rumah tanggaku dimulai. Aku menyambut awal tahun 2019 dengan penuh semangat baru. Rumah baru. Tetangga baru. Kesibukan baru. Dan keyakinan baru tentang kemampuan diri sendiri. Aku bisa!

Pondok Indah Mertua


Aku sedang memakan alpukat ketika umiku mengajakku bicara empat mata.
“Ca, dah 3 minggu lho kamu di sini. Rumah mertuamu dekat. Waktunya berkunjung kesana,”
Aku pun terdiam. Sebenarnya aku lebih nyaman tinggal di rumah orang tua sendiri. Setelah jadi ibu menyusui, pasti risih dan malu tinggal serumah dengan adik ipar yang notabene laki-laki semua, terutama karena aku harus sering menyusui bayiku. Suamiku mempunyai dua adik laki-laki yang masih tinggal di rumah mertua.
“Umi takut jadi nenek egois, mertuamu juga baru jadi kakek-nenek, mereka juga berhak bertemu cucunya,” lanjut umi menasihatiku. Benar juga, ya. Aku tidak berpikir sampai ke situ. Aku tak berniat menahan bayiku untuk tidak bertemu kakek-neneknya. Hanya saja kenyamanan selama menjalani peran baru menjadi ibu, membuatku masih ingin dekat dengan ibuku sendiri. Aku masih butuh banyak bimbingan. Namun tanpa berpikir panjang, aku menjawab, “Oke, lusa aku berkunjung ke sana.”
Sebenarnya sejak hamil muda aku sempat tinggal agak lama di rumah mertua. Jadi tidak terlalu canggung jika harus berpindah-pindah dari rumah orangtuaku ke rumah mertuaku. Pada rabu sore, aku pergi ke rumah mertua dengan barang bawaan yang sangat banyak. Ternyata bayi mungil ini membutuhkan banyak hal—dari popok bayi, baju ganti lusinan, handuk-handuk kecil, bantal menyusui, Kasur bayi, bouncer,dan stroller.Saat menurunkan barang, aku geleng-geleng kepala sendiri, takjub akan barang milik bayi mungilku yang seabrek. Seumur-umur baru kali ini aku membawa barang sebanyak ini. Sepertinya kemah pun, barang bawaanku tidak sebanyak ini. Paling hanya ransel tanggung. Rekor bawaan terbanyak adalah saat aku harus kemah selama dua minggu berturut-turut di Pondok haji Surabaya dan lanjut berkemah di Cibubur. Itu pun hanya ransel gunung ukuran 17 liter.
“Assalamualaikum, Mom,” aku mengucapkan salam pada ibu mertuaku yang biasa kupanggil mom.
“Wah, cucu yangti datang,” beliau segera mengambil bayiku dari gendonganku. Aku tersenyum. Senang sekali kamu, nak, mempunyai nenek lincah baik dari pihak ibuku sendiri dan ibu mertuaku. Kamu akan tumbuh dengan menerima banyak cinta. Aku berbincang-bincang sejenak dengan bapak dan ibu mertuaku di ruang tamu, membahas rencanaku dan suami yang akan pindah ke Salatiga dua bulan lagi.
Menikah menjadi sangat menyenangkan karena dua keluarga yang penuh cinta telah bersatu.

Anak Umi sudah jadi Umi


Aku yang sekarang adalah nyowo turahan, nyawa yang tersisa. Entah sudah tak terhitung aku berhasil melewati momen antara hidup dan mati. Dulu sekali, saat masih duduk di sekolah dasar, aku harus menaiki sepeda cukup jauh sepanjang 3 km dan melewati rel kereta api tanpa palang pelindung hanya untuk pergi ke sekolah.
Pagi itu kelas kami dipulangkan lebih awal karena para guru akan mengadakan rapat awal tahun. Aku dan Wiwin, teman akrabku yang kebetulan rumahnya searah, pulang bersama. Seperti biasa, saat melewati rel kereta tanpa palang itu kami turun dari sepeda sembari menuntunnya. Tak lupa waspada menengok ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada cahaya lampu kereta yang akan lewat. Demi keselamatan kami berdua. Setelah memastikan keadaan aman, kami pun menyebrang rel dan wiwin berhasil melewati lebih cepat.
Sepedaku terhenti, tak bisa melewati rel yang agak tinggi dengan mudah. Saat roda belakang sedang kuangkat, aku mendengar suara kereta yang tiba-tiba dekat sekali. Sekilas aku mendengar seorang laki-laki meneriakiku, “Awaaasss!” dan aku didorong kemudian terjerembab jatuh ke dekat Wiwin. Hampir saja aku tertabrak kereta dengan kecepatan tinggi. Setelah kereta menghilang di tikungan, aku dan Wiwin menengok ke segala penjuru mencari sosok yang menolongku, namun nihil. Sosok laki-laki itu benar-benar menghilang dari pandangan. Merinding sekali mengingat kejadian itu, namun berkat lelaki itu aku selamat dari maut.
Aku ingat 10 tahun lalu pernah mengalami kecelakaan tunggal saat menaiki motor sendiri. Hanya kaki kananku yang cedera, tapi motor supraku rusak berat. Beruntung saat itu ada polisi lalu lintas yang berbaik hati mengurus administrasi rumah sakit dan mengantarkanku pulang.
Malam ini setelah menyusui bayiku tiba-tiba aku merasa pusing dan kedinginan. Abah sedang dinas ke luar kota, dan suamiku juga bekerja di luar kota. Hanya aku, umi dan bayiku di rumah.
“Kalau mandi jangan kemaleman, mbuk’an,”umiku menasihatiku. Tadi sore anakku menyusu hampir satu jam, jadi aku baru bisa mandi setelah adzan maghrib. “Sini tak kerokin, kasihan anakmu kalau ibunya sakit,” aku mengangguk.
Bukannya membaik, setelah dikerokin oleh umiku badanku justru makin panas. Aku demam tinggi. Puncaknya pada jam 11 malam, badanku menggigil. Aku merasa sangat kedinginan. Beruntung, bayiku tenang sekali malam itu, tidak rewel. Umiku memakaikan jaket untukku, lalu mengambil tumpukan bed cover di pojok kamar, menyelimutiku dengan dua bed cover tebal sekaligus. Aku menggigil makin hebat. Gigiku menggeletuk dibuatnya.
“Mi, dingin banget,” umiku tak kekurangan akal, dia menindihiku di atas bed cover tebal. Tubuhku bergetar. Setelah hampir satu jam berlalu, akhirnya aku mulai merasa hangat lagi. Bayiku menangis, namun umiku dengan segera menggendongnya. Aku menangis terharu, bersyukur sekali menghadapi kejadian ini dengan umi di sampingku. Meskipun sudah jadi ibu, aku masih sangat bergantung pada ibuku.

Belajar dari Mbah Mun


Mbah Mun adalah nama panggilan nenekku. Tak ada yang tahu persis berapa usianya. Tapi di KTP terbarunya yang baru saja jadi, tertulis 31 Desember 1941 sebagai tanggal lahirnya. Jika dihitung sudah hampir 80 tahun usia beliau. Di usia yang umumnya manusia sudah merasa senja, beliau masih sangat bergairah dan enerjik. Ia masih sangat sanggup mengasuh cucunya yang seumuran Mima, anak pertamaku, karena mbah Mun sangat menyukai anak-anak. Beliau sudah mengasuh belasan anak-anak walaupun mereka tidak dikandungnya. Termasuk aku dan adikku yang sejak kecil diasuhnya sampai kami merasa sangat dekat dengannya.

Mbah Mun sangat terkenal di Kaliwungu. Sebelum pandemi menguasai dunia, mbah Mun adalah juru memandikan jenazah perempuan di desa. Dan tak jarang ia diminta tolong memandikan jenazah di desa lain dalam satu kecamatan. Ini adalah pekerjaan sukarela yang dikerjakan mbah mun sejak 15 tahun terakhir. Oleh karena itu ia dikenal oleh banyak orang. Jika aku sedang jalan-jalan sore dengan mbah mun, aku harus mengalah dengan menunggunya bertegur sapa dengan banyak orang. Karena setiap tikungan gang yang kita lewati, orang pasti mengenalnya.

Mbah Mun buta alfabet, namun bisa membaca Al-qur’an dengan lancar. Walau sudah sepuh, beliau sangat cerdas dengan ingatan yang kuat. Mbah Mun masih hafal silsilah pohon keluarga dari si Fulandan Fulanah. Saat tahu bahwa aku, cucu kesayangannya, akan menikah dengan keturunan orang Kaliwungu, mbah Mun dengan senang hati mendatangi temannya yang ternyata adalah adik dari nenek suamiku. “Mun—(panggilan untuk adik nenek suami, namanya sama), putuku entuk putumu,” seru mbah mun, agak histeris.

Alhamdulillah, putuku sing endi?” tanya kawan mbah Mun.

“Putumu sing Truko!”

“Maa Syaa Allah, Alhamdulillah!”

Ya, seheboh itulah mbah Mun. Jadi harap maklum, aku memang punya darah heboh sudah dari sana-nya.
Meski terlihat galak, mbah mun memperlakukan setiap orang dengan baik. Di usianya yang sudah sepuh, mbah mun masih kuat mencuci piring, mencuci baju, belanja di pasar, berangkat ke pengajian dengan berjalan kaki sepanjang 2 km, bahkan memandikan jenazah dengan sukarela, sampai ditawari posisi sebagai pegawai tetap kelurahan, sebagai tanda jasa atas kesukarelaannya memandikan jenazah wanita. Namun beliau tolak.
Suatu hari mbah mun mengeluh tulang kakinya sakit, padahal beberapa hari lagi mbah mun akan ikut orang tuaku menikahkan adik laki-lakiku di pulau seberang, Medan. Tapi bukan mbah Mun namanya jika sakit sedikit mengeluh. Mbah Mun tetap ikut ke Medan dan berkunjung ke Danau Toba, Pulau Samosir. Senang sekali melihat mbah Mun masih kuat dan bugar selama perjalanan jarak jauh.
Dari mbah Mun aku belajar untuk selalu memberi dan berbuat baik sepanjang usia, satu rahasia panjang umur dan sumber kesehatan raganya.

Ibu Insecure


Setiap orang mempunyai fase kekanak-kanakan dan tidak bertanggung jawab. Kita menyebut fase itu masa muda yang bergejolak. Pada masa itu kita selalu melampiaskan kekecewaan kepada ibu. Dan sekarang, aku sedang memasuki fase baru kehidupanku, menjadi seorang ibu. Jujur, aku sangat insecure sebagai ibu. Karena aku sadar, aku belum menjadi anak yang berbakti, apalagi membanggakan. Apakah aku bisa jadi ibu yang baik? Bagaimana aku bisa mendidik anakku nanti, sedang diriku ini banyak sekali kurangnya?
Pada malam pertama setelah menikah dulu, aku dengan sadar mengajak suamiku berdialog. Sedikit memastikan komitmen jangka panjang suami jika kita punya anak. “Udah siap jadi seorang ayah?” suamiku menjawab seketika, “In syaa Allah, siap,”
“Beneran siap? Repot loh punya anak, banyak biaya yang harus dikeluarin pula,”
“Bismillah siap. Ada banyak pintu rejeki terbuka saat menikah, apalagi jika punya anak,” suamiku menjawab dengan mantap.
Waktu itu, seperti pasangan normal lainnya, kami penasaran sesubur apakah diriku dan suamiku? Seperti uji coba saja dan ternyata tokcer.
Dan 10 bulan kemudian, lahirlah putri kecil pertamaku. Pagi ini aku bisa lebih tenang menikmati suasana pagi sambil menyeruput susu coklat panas. Hampir dua jam bayiku tertidur pulas. Aku bisa menyelesaikan cucian dan melipat baju-baju bayi. Saat aku melihat wajah tidurnya, betapa menenangkannya melihatnya tidur pulas. Anganku berkelana ke masa yang jauh. “Nak, Umi takut. Apakah umi bisa membesarkanmu dengan baik?” tanyaku pada bayi mungil ini.
“Pakeeet!” kurir JNE berteriak di depan rumah, menghentikan lamunanku. Paket belanja onlineku datang. Aku bergegas membukakan pintu.
“Dengan mbak Ica?” tanya kurir padaku. “Ya, saya sendiri, pak,” jawabku.
“Tanda tangan di sini ya, mbak,” aku menuliskan tanda tangan di layar handphone-nya. Aku memesan pompa ASI manual untuk memerah ASI. Sepertinya mubazir sekali setiap sesi menyusu, ASI dari payudara sebelah menetes keluar tak tertampung. Aku berinisiatif untuk mulai menyetok ASI perah di kulkas, seperti tips menyusui dari influencer ASI di Instagram.
Ada yang bilang, insecure adalah tanda untuk bersyukur. Sepertinya tidak untukku. Insecure adalah tanda untuk melakukan perbaikan diri bagiku. Allah tidak akan mengubah suatu kaum sampai mereka mengubah diri mereka sendiri.
Bayiku masih tertidur pulas. Aku membuka pompa ASI baruku. Bismillah, daripada aku terus meragukan diri sendiri, lebih baik aku berusaha semaksimal mungkin untuk anakku, dimulai dari pompa ASI ini. Doakan umimu ya nak, bisa istiqomah menyusuimu hingga dua tahun nanti, seperti anjuran agama kita.


 

Belajar Jadi Ibu

 Hari ketiga Bersama bayi mungilku. Aku mengamati setiap hal yang dilakukan umiku untuk bayiku, termasuk urusan mandi. Pada mandi ketiga kalinya di rumah, aku memberanikan diri untuk mulai pegang urusan mandi juga. Walaupun di dalam hati yang paling dalam, aku ketakutan melakukannya. Gimana kalau bayiku tergelincir dari tanganku saat kumandikan? Nanti balik badannya gimana dong? Aku menepis pikiran burukku dan mulai berlatih langsung. Takut berarti tanda bagus, aku bisa lebih berhati-hati saat melakukannya dibandingkan tidak takut sama sekali.

Matahari pagi bersinar cerah pada bulan Agustus. Setelah memandikan bayi, aku memutuskan untuk melakukan sun bathing, berjemur di pagi hari bersama bayiku di lantai atas. Baru saja aku melepas kancing baju, ternyata bayiku pipis. “Pinternya, pipis pagi-pagi.. ganti dulu ya,” awalnya aku hanya meniru apa yang dilakukan umiku, setiap melakukan aktivitas bersama bayi pasti dengan percakapan, jadi refleks.
Baru saja selesai mengganti celana baru setelah pipis, aku melihat ekspresi berbeda pada wajah bayiku. Dia membentuk huruf O pada mulutnya lalu agak mengejan. Ekkkkhhh….
“Lagi ngapain, dek?” tanyaku spontan, yang dijawab dengan bunyi blukutukk. Ternyata buang air besar. Setelah lega berhasil memandikan, mengganti popok dan membersihkan buang air besarnya, bayiku menangis agak keras. “Mi, kenapa lagi ini?” Aku memanggil umiku yang sedang menyiapkan sarapan. “Aku mau nenen, umiii,” jawab umiku agak keras karena menjawab dari ruangan lain, berkata untuk bayiku.
Umiku mengambil bayiku dariku. “Wes kono sarapan sek, ben ono isine,” Artinya yaudah sana sarapan dulu biar ada isinya (nenennya). Aku menghela nafas lega. Belum ada 1 jam berlalu tapi aku sudah melakukan tiga hal sekaligus. Belajar memandikan, menjemur, mengganti popok dua kali. Luar biasa.
Setelah makan, aku mencoba menyusui bayiku, yang hanya bertahan 5 menit.
“Kok bentar banget?” tanya umiku. Aku menggeleng tidak tahu.
“Dicoba kasih lagi po?” aku mencoba sekali lagi untuk menyusui anakku, yang berujung pada pecahnya tangisannya lebih keras dari sebelumnya. Aku yakin air susuku sudah mulai keluar dengan lancar, karena setiap menyusui di satu payudara, aku merasakan payudara yang tidak disusukan air susuku merembes keluar.
“Dek, kok nangis kenapa?” tanyaku cemas. Bayiku justru menangis lebih keras. Umiku berinisiatif mengambil bayiku dari gendonganku, meninggalkanku yang termangu sendiri. Aku merasa bersalah. Nak, umimu salah apalagi?
Hari ini aku belajar memandikan, menjemur bayi dan mengganti popok sekaligus. Jadi wajar ya nak, kalau masih belum pro menyusuimu. Besok lusa semoga umimu makin pintar menyusui.

Supermom 2018

 

Salah satu kenikmatan menjadi ibu di era sosial media adalah kita bisa memilih support system macam apa yang akan mendampingi kita selama menjalani peran baru menjadi ibu. Sejak usia kandungan masih 6 bulan, aku bertukar informasi dengan banyak ibu hamil lainnya di situs ibuhamil.com dan kami berkumpul pada thread Hari Perkiraan Lahir. Dari thread itulah terbentuk satu whatsapp grup berisi ibu yang akan melahirkan di bulan Agustus 2018, 60-an lebih peserta grup yang berasal dari berbagai kota di Indonesia.

Karena merasa senasib menjalani peran baru menjadi ibu dalam rentang waktu yang sama, kami menjadi saling perhatian satu sama lain. Hampir tidak ada chat yang diabaikan setiap ada yang bertanya di grup Supermom 2018.
Bahkan beberapa orang masih aktif bertanya di grup selama persalinan, yang semakin membuat grup ini menjadi lebih spesial.

"Mak, anakku ruam popok," Mak Aletta menggunggah foto ruam popok anaknya di whatsapp group Supermom.
Seseorang langsung membalas, Mak Kaindra. "Beberapa hari yang lalu anakku juga begitu, mak. Kasih diapers rash cream merk ini aja dijamin cepet sembuh ruamnya,"
"Mak, ada gak yang anaknya rewel terus kalo malem?" tanya seseorang lagi.
"Anakku 2 malam berturut-turut begitu mak, rewel juga."
"Wah ternyata aku gak sendiri ya, mak. Ada yang anaknya rewel juga kayak anakku. Aku tinggal sama mertua jadi gak enak banget takut bayiku mengganggu istirahat orang,"
“Wah, ya enggak ganggu lah mak, kan wajar banget kalo newborn sering nangis,” grup semakin ramai, hampir 5 orang aktif saling berbalas ria. Curhat berjamaah.
"Semangat ya mak, kita saling nyemangatin di sini," aku juga sering menimbrung obrolan seputar mengurus bayi baru lahir.

Kita mungkin tak pernah bersua, tapi rasanya dari lentiknya ketikan jari jemari ini kita semakin dekat dari hari ke hari, saling menyemangati dalam perjuangan baru menjadi Ibu. Aku seperti menemukan teman seangkatan menjadi ibu. Thanks supermom squad 2018! I love you to the moon and back! Semoga persahabatan kita kekal abadi sepanjang usia.


Insting Keibuanku

 Aku masih tak habis pikir, bisa-bisanya rumah sakit menempatkan ibu yang baru saja kehilangan bayinya ke kamar perawatan yang penuh dengan tangisan bayi! Setiap bayiku menangis, aku harap-harap cemas melihat ke sebelah kiriku, takut mereka berdua terganggu istirahatnya. Pengen cepet pulang!

“Yang, kamu gaktanya ke perawat soal kapan aku boleh pulang?” tanyaku pada suamiku yang sedang menikmati makan siang di sampingku.
“Udah tanya. Sebenernya kamu sama kakak udah boleh pulang, tapi peraturan dari BPJS Kesehatan pasien wajib rawap inap minimal 1 hari,”
“Intinya boleh pulang kapan?” cecarku tak sabaran.
“Masih nginep semalam lagi. Besok baru boleh pulang,” jawab suamiku, melanjutkan sesi makan.
Jarum jam seperti berdetak lebih lambat, akhirnya satu hari berlalu. Aku dan bayiku diperbolehkan pulang. Aku berpamitan kepada dua ibu, teman sekamarku selama satu hari satu malam ini. Iba sekali rasanya menatap mereka berdua. Semoga mereka lekas pulih dan dapat menerima keketapan takdir-Nya dengan baik meskipun sulit.
Orang tuaku menjemput tepat saat aku dan suamiku keluar dari gedung rumah sakit.
“Mari kita pulang, cucuku!” ucap umi kepada cucunya. Aku tertawa bahagia. Baru kemarin aku berpeluh campuran antara keringat, air ketuban dan darah. Hari ini aku sudah berdiri tegak menggendong anakku dengan selamat. Aku akan belajar untuk selalu bersyukur Ya Allah!
Mengurus bayi baru lahir ternyata butuh persiapan mental yang kuat. Belum pulih benar badanku pasca perjuangan melahirkan kemarin, pegal-pegal masih menjalar di sekujur tubuh. Sejak pulang ke rumah, anakku mulai bisa menyusu dengan tenang dan jauh lebih sering dari hari sebelumnya. Setiap ada tangisan bayi pasti umiku berkata, “Umi, aku haus! (berkata untuk bayiku).”
Meskipun masih kesulitan untuk menemukan posisi ternyaman menyusui, aku masih gigih berusaha untuk belajar menyusui. Aku ibu pembelajar, aku bisa! Inilah mottoku yang selalu kuingat-ingat setiap kali lelah datang. Malam itu aku tidur lebih nyenyak dari kemarin. Tiba-tiba aku dibangunkan oleh suara umiku. “Ca, bangun! Anakmu butuh menyusu,”
“Aku capek, nanti ya!” refleks aku ingin lanjut tidur lagi.
“Kalo anakmu sakit gara-gara ibunya ga nenenin, piye?” aku terkesiap, bangun seketika. Insting keibuanku pun mulai muncul sejak malam ini. Aku mengambil bayiku dari tempat tidurnya, bersiap siaga menyusui.