Sabtu, 13 Februari 2021

Belajar Jadi Ibu

 Hari ketiga Bersama bayi mungilku. Aku mengamati setiap hal yang dilakukan umiku untuk bayiku, termasuk urusan mandi. Pada mandi ketiga kalinya di rumah, aku memberanikan diri untuk mulai pegang urusan mandi juga. Walaupun di dalam hati yang paling dalam, aku ketakutan melakukannya. Gimana kalau bayiku tergelincir dari tanganku saat kumandikan? Nanti balik badannya gimana dong? Aku menepis pikiran burukku dan mulai berlatih langsung. Takut berarti tanda bagus, aku bisa lebih berhati-hati saat melakukannya dibandingkan tidak takut sama sekali.

Matahari pagi bersinar cerah pada bulan Agustus. Setelah memandikan bayi, aku memutuskan untuk melakukan sun bathing, berjemur di pagi hari bersama bayiku di lantai atas. Baru saja aku melepas kancing baju, ternyata bayiku pipis. “Pinternya, pipis pagi-pagi.. ganti dulu ya,” awalnya aku hanya meniru apa yang dilakukan umiku, setiap melakukan aktivitas bersama bayi pasti dengan percakapan, jadi refleks.
Baru saja selesai mengganti celana baru setelah pipis, aku melihat ekspresi berbeda pada wajah bayiku. Dia membentuk huruf O pada mulutnya lalu agak mengejan. Ekkkkhhh….
“Lagi ngapain, dek?” tanyaku spontan, yang dijawab dengan bunyi blukutukk. Ternyata buang air besar. Setelah lega berhasil memandikan, mengganti popok dan membersihkan buang air besarnya, bayiku menangis agak keras. “Mi, kenapa lagi ini?” Aku memanggil umiku yang sedang menyiapkan sarapan. “Aku mau nenen, umiii,” jawab umiku agak keras karena menjawab dari ruangan lain, berkata untuk bayiku.
Umiku mengambil bayiku dariku. “Wes kono sarapan sek, ben ono isine,” Artinya yaudah sana sarapan dulu biar ada isinya (nenennya). Aku menghela nafas lega. Belum ada 1 jam berlalu tapi aku sudah melakukan tiga hal sekaligus. Belajar memandikan, menjemur, mengganti popok dua kali. Luar biasa.
Setelah makan, aku mencoba menyusui bayiku, yang hanya bertahan 5 menit.
“Kok bentar banget?” tanya umiku. Aku menggeleng tidak tahu.
“Dicoba kasih lagi po?” aku mencoba sekali lagi untuk menyusui anakku, yang berujung pada pecahnya tangisannya lebih keras dari sebelumnya. Aku yakin air susuku sudah mulai keluar dengan lancar, karena setiap menyusui di satu payudara, aku merasakan payudara yang tidak disusukan air susuku merembes keluar.
“Dek, kok nangis kenapa?” tanyaku cemas. Bayiku justru menangis lebih keras. Umiku berinisiatif mengambil bayiku dari gendonganku, meninggalkanku yang termangu sendiri. Aku merasa bersalah. Nak, umimu salah apalagi?
Hari ini aku belajar memandikan, menjemur bayi dan mengganti popok sekaligus. Jadi wajar ya nak, kalau masih belum pro menyusuimu. Besok lusa semoga umimu makin pintar menyusui.

0 komentar:

Posting Komentar