Sabtu, 13 Februari 2021

LDM: Komunikasi Proaktif Pasutri

 Long Distance Marriage. Gimana rasanya?


Aku tinggal di kabupaten Kendal, sebuah kabupaten yang cukup luas sebelum masuk kota Semarang, dari arah Jakarta. Kota ini punya gunung dan pantai, tapi tempat tinggalku sering bercuaca panas karena cukup dekat dengan pesisir pantai. Setengah jam naik motor dari rumahku, kita bisa menikmati pantai terdekatSuamiku bekerja 60km dari Kendal, di lereng gunung Merbabu. Tepatnya di kota Salatiga. Cuaca di Salatiga sangat kontras dengan Kendal. Di sana berhawa dingin karena berada di dataran tinggi. Aku sudah mulai merengek ingin ikut tinggal di Salatiga meskipun masih belum yakin, apakah aku bisa mengurus bayi sendiri tanpa bantuan siapapun selain suami.
Setelah punya anak, aku merasa jadi lebih cengeng, lebih mudah menangis atas hal-hal remeh dan sepele. Seperti pagi ini, saat suami berpamitan berangkat kerja. Suamiku sudah bersiap memakai masker tangan dan muka, saat aku menghentikan langkahnya untuk keluar rumah. “Yang, aku ikut po?”
“Terus adek sama siapa, umi?” tanya suamiku. “Kamu gausah berangkat kerja hari ini, aku agak khawatir,” tak terasa air mataku mulai mengalir. Suamiku mengusap air mataku.
“Aku yakin kamu bisa ngurus adek dengan baik, yang. Doain aku ya biar semangat kerjanya. In syaa Allah beberapa bulan lagi kita tinggal bareng. Aku janji,” ucap suamiku meyakinkanku. Aku pun mundur, mempersilahkan suamiku untuk menuntun kendaraannya keluar.
“Aku berangkat ya, sayang, baik-baik sama adek. Kita ketemu lagi hari kamis, assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam,” jawabku pelan sambil memandangi motornya yang mulai menghilang di tikungan.
Tiap jam menunjukkan pukul 8 malam, aku bergegas menelpon suami. Saatnya berpacaran. Satu rutinitas yang telah kami jalani selama setahun usia pernikahan kami. Awal menikah dulu, kami pernah menghabiskan 3 jam untuk melepas rindu via suara. Itulah rekor menelpon terlama. Setelah punya anak, rata-rata aku hanya menelpon selama 15 menitan, karena sering terpotong oleh tangisan bayi.
“Yang, kamu kangen aku gak?” tanyaku iseng pada sesi telepon kami malam ini.
“Yo kangenlah,”
“Kalau sama adek, kangen juga gak?” tanyaku.
“Kangen banget, pengen cepet-cepet hari kamis jadinya, mau krungkelan sama kalian,”
Andai suami tahu, tiap kamis sore, aku sangat menantikan suara motornya menderu di halaman rumah. Ah, jarak ini menumbuhkan benih rindu. Cinta kami semakin bertumbuh subur.
Aku tak pernah membayangkan jika LDM (Long Distance Marriage) bisa seromantis ini. Tinggal berjauhan dengan suami membuatku berusaha lebih keras untuk membangun komunikasi yang pro aktif. Rutinitas yang sangat kurindukan ketika kita sudah hidup seatap.

0 komentar:

Posting Komentar