Sabtu, 13 Februari 2021

Anak Umi sudah jadi Umi


Aku yang sekarang adalah nyowo turahan, nyawa yang tersisa. Entah sudah tak terhitung aku berhasil melewati momen antara hidup dan mati. Dulu sekali, saat masih duduk di sekolah dasar, aku harus menaiki sepeda cukup jauh sepanjang 3 km dan melewati rel kereta api tanpa palang pelindung hanya untuk pergi ke sekolah.
Pagi itu kelas kami dipulangkan lebih awal karena para guru akan mengadakan rapat awal tahun. Aku dan Wiwin, teman akrabku yang kebetulan rumahnya searah, pulang bersama. Seperti biasa, saat melewati rel kereta tanpa palang itu kami turun dari sepeda sembari menuntunnya. Tak lupa waspada menengok ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada cahaya lampu kereta yang akan lewat. Demi keselamatan kami berdua. Setelah memastikan keadaan aman, kami pun menyebrang rel dan wiwin berhasil melewati lebih cepat.
Sepedaku terhenti, tak bisa melewati rel yang agak tinggi dengan mudah. Saat roda belakang sedang kuangkat, aku mendengar suara kereta yang tiba-tiba dekat sekali. Sekilas aku mendengar seorang laki-laki meneriakiku, “Awaaasss!” dan aku didorong kemudian terjerembab jatuh ke dekat Wiwin. Hampir saja aku tertabrak kereta dengan kecepatan tinggi. Setelah kereta menghilang di tikungan, aku dan Wiwin menengok ke segala penjuru mencari sosok yang menolongku, namun nihil. Sosok laki-laki itu benar-benar menghilang dari pandangan. Merinding sekali mengingat kejadian itu, namun berkat lelaki itu aku selamat dari maut.
Aku ingat 10 tahun lalu pernah mengalami kecelakaan tunggal saat menaiki motor sendiri. Hanya kaki kananku yang cedera, tapi motor supraku rusak berat. Beruntung saat itu ada polisi lalu lintas yang berbaik hati mengurus administrasi rumah sakit dan mengantarkanku pulang.
Malam ini setelah menyusui bayiku tiba-tiba aku merasa pusing dan kedinginan. Abah sedang dinas ke luar kota, dan suamiku juga bekerja di luar kota. Hanya aku, umi dan bayiku di rumah.
“Kalau mandi jangan kemaleman, mbuk’an,”umiku menasihatiku. Tadi sore anakku menyusu hampir satu jam, jadi aku baru bisa mandi setelah adzan maghrib. “Sini tak kerokin, kasihan anakmu kalau ibunya sakit,” aku mengangguk.
Bukannya membaik, setelah dikerokin oleh umiku badanku justru makin panas. Aku demam tinggi. Puncaknya pada jam 11 malam, badanku menggigil. Aku merasa sangat kedinginan. Beruntung, bayiku tenang sekali malam itu, tidak rewel. Umiku memakaikan jaket untukku, lalu mengambil tumpukan bed cover di pojok kamar, menyelimutiku dengan dua bed cover tebal sekaligus. Aku menggigil makin hebat. Gigiku menggeletuk dibuatnya.
“Mi, dingin banget,” umiku tak kekurangan akal, dia menindihiku di atas bed cover tebal. Tubuhku bergetar. Setelah hampir satu jam berlalu, akhirnya aku mulai merasa hangat lagi. Bayiku menangis, namun umiku dengan segera menggendongnya. Aku menangis terharu, bersyukur sekali menghadapi kejadian ini dengan umi di sampingku. Meskipun sudah jadi ibu, aku masih sangat bergantung pada ibuku.

0 komentar:

Posting Komentar