Sabtu, 13 Februari 2021

Ibu Tanpa Dukungan

Setelah jadi ibu, ada satu hal penting yang kupelajari yaitu tahu cara meminta tolong saat benar-benar membutuhkan. Karena aku tidak akan sanggup berjuang sendirian. It says, it takes a village to raise a child. Jadi daripada aku berpayah-payah sendirian, aku berusaha semaksimal mungkin melibatkan suamiku dalam pengasuhan anak, termasuk dalam urusan ganti popok dan memandikan bayi. Karena aku dan suami hanya tinggal sendiri di rantau tanpa bantuan Asisten Rumah Tangga.
Jika mengingat proses ta’aruf sebelum menikah dengan suami dulu, aku memantapkan diri untuk menikah dengannya karena dari sorot matanya yang terlihat selalu sedih, ada suatu sorot kelembutan yang membuatku yakin bahwa dia akan menjadi sosok suami dan ayah yang baik untuk anak-anakku. Waktu pun membuktikan itu. Suamiku bahkan berani mendampingiku selama berjuang melahirkan. Padahal aku mengalami ketuban pecah dini, dan selama persalinan terus menerus mengeluarkan darah. Butuh mental baja untuk berani mendampingi proses persalinan yang “seperti” itu.
Aku makin memercayakan urusan pengasuhan kepadanya. Jika seorang ibu tidak melibatkan suaminya dalam pengasuhan anak sejak dini, maka dia akan semakin sulit melakukan ikatan dengan anak karena tidak pernah diberi kesempatan.
Pagi ini seorang teman dari grup chat supermom 2018 mengirimkan chat berupa curhatan tentang suaminya yang tidak mau tau tentang urusan pengasuhan anak sama sekali.
“Mak, aku pengen suamiku juga ikut bantu urus bayi dikit-dikit. Tapi tiap kusuruh bikini sufor selalu menolak. Ada aja alasannya. Aku di titik ogah minta tolong ke suamiku lagi,” I feel you, mak. Aku sepertinya pernah di posisi ini. Tapi aku berhasil mengajak suamiku untuk lebih peduli.
“Aku juga sebentar lagi berangkat kerja, mak. Sedangkan ART belum dapat juga sampai detik ini. Ada saran kah, harus cari ART khusus mengasuh bayi dimana? Kebetulan ibuku masih bekerja, jadi tidak bisa dimintai tolong mengasuh cucunya.”
Melihat keadaan ibu satu ini, jujur, di hati yang paling dalam, aku bersyukur karena mempunyai suami yang sangat suportif. Dia selalu mendukungku dalam banyak hal, termasuk urusan eksistensi diri, seperti membolehkanku untuk tetap aktif berorganisasi walaupun sudah menikah. Aku yakin jika berada di posisi ibu itu pasti sudah uring-uringan tak karuan. Sudah harus kerja, eh, suami gak mau tahu urusan anaknya sama sekali. Lalu apa gunanya menikah dan punya suami?

Perempuan hanya punya 3 tugas kodrati, yaitu hamil, melahirkan, dan menyusui. Selebihnya adalah tugas-tugas kehidupan yang sama seperti laki-laki.
Artinya, masak dan mengurus rumah, mendidik anak, itu bukan tugas kodrati perempuan. Tidak ada kodrat yang melekat di situ. Itu adalah tugas bersama, laki-laki dan perempuan.
(Dari postingan facebook Dr. Hasanudin Abdurrahman, 8 Maret 2018)

Aku sangat setuju dengan status facebook ini. Betapa berat tugas pengasuhan anak jika hanya dibebankan kepada perempuan. Padahal menurut kitab suci Al-qur’an, sosok pendidik terbaik justru hadir dari kaum laki-laki, yaitu Nabi Ibrahim dan Imran, ayahanda Maryam, ibunda Nabi Isa.
Hari ini grup whatsapp supermom ramai karena curhatan ibu satu ini. Ada yang menyemangati, memberi solusi, bahkan ada yang ikut curcol, curhat colongan.
“Suamiku juga begitu, mak. Sebel banget deh liat dia main game mulu. Padahal aku kerepotan urus anak,” balas seseorang di grup.
“Suamiku cukup membantu, mak. Kecuali ganti popok. Masih ogah sampe sekarang,”
“Ayo mak, ajak suami terus sampe mau terlibat dalam pengasuhan anak,” seseorang lagi menyemangati teman yang suaminya belum mau terlibat, agar berusaha lebih keras untuk mengajak suaminya.
Sungguh, aku saksi hidup pernikahan orang tuaku, betapa kelanggengan dan kebahagiaan pernikahan mereka setelah punya anak ditentukan oleh ketersalingan dan pengertian yang mendalam tentang berbagi peran, tidak membebankan tugas pengasuhan hanya kepada salah satu pihak saja.
Sering kali karena salah satu pihak memilih untuk memendam perasaan saat kerepotan mengurus anak, biasanya pihak istri, akan menjadi bom waktu yang akan meledak suatu saat nanti. Bisa 3-5 tahun kemudian, bahkan saat anak-anaknya sudah dewasa kelak. Saat anak tiba-tiba berulah dan memiliki masalah pelik, dan seorang suami menyalahkan istrinya akan keadaan tersebut, masalah ini dapat menyebabkan konflik yang lebih besar.
Pola komunikasi yang baik selama menjadi suami istri berpengaruh pada keharmonisan rumah tangga setelah punya anak, agar tidak terucap kata-kata seperti ini, “kamu sih, enak. Selama ini gak mau tahu urusan anak. Saat anak bermasalah, justru menyalahkanku. Lalu kemana saja kamu selama ini, sebagai seorang bapak?”

0 komentar:

Posting Komentar