Sabtu, 13 Februari 2021

Belajar dari Mbah Mun


Mbah Mun adalah nama panggilan nenekku. Tak ada yang tahu persis berapa usianya. Tapi di KTP terbarunya yang baru saja jadi, tertulis 31 Desember 1941 sebagai tanggal lahirnya. Jika dihitung sudah hampir 80 tahun usia beliau. Di usia yang umumnya manusia sudah merasa senja, beliau masih sangat bergairah dan enerjik. Ia masih sangat sanggup mengasuh cucunya yang seumuran Mima, anak pertamaku, karena mbah Mun sangat menyukai anak-anak. Beliau sudah mengasuh belasan anak-anak walaupun mereka tidak dikandungnya. Termasuk aku dan adikku yang sejak kecil diasuhnya sampai kami merasa sangat dekat dengannya.

Mbah Mun sangat terkenal di Kaliwungu. Sebelum pandemi menguasai dunia, mbah Mun adalah juru memandikan jenazah perempuan di desa. Dan tak jarang ia diminta tolong memandikan jenazah di desa lain dalam satu kecamatan. Ini adalah pekerjaan sukarela yang dikerjakan mbah mun sejak 15 tahun terakhir. Oleh karena itu ia dikenal oleh banyak orang. Jika aku sedang jalan-jalan sore dengan mbah mun, aku harus mengalah dengan menunggunya bertegur sapa dengan banyak orang. Karena setiap tikungan gang yang kita lewati, orang pasti mengenalnya.

Mbah Mun buta alfabet, namun bisa membaca Al-qur’an dengan lancar. Walau sudah sepuh, beliau sangat cerdas dengan ingatan yang kuat. Mbah Mun masih hafal silsilah pohon keluarga dari si Fulandan Fulanah. Saat tahu bahwa aku, cucu kesayangannya, akan menikah dengan keturunan orang Kaliwungu, mbah Mun dengan senang hati mendatangi temannya yang ternyata adalah adik dari nenek suamiku. “Mun—(panggilan untuk adik nenek suami, namanya sama), putuku entuk putumu,” seru mbah mun, agak histeris.

Alhamdulillah, putuku sing endi?” tanya kawan mbah Mun.

“Putumu sing Truko!”

“Maa Syaa Allah, Alhamdulillah!”

Ya, seheboh itulah mbah Mun. Jadi harap maklum, aku memang punya darah heboh sudah dari sana-nya.
Meski terlihat galak, mbah mun memperlakukan setiap orang dengan baik. Di usianya yang sudah sepuh, mbah mun masih kuat mencuci piring, mencuci baju, belanja di pasar, berangkat ke pengajian dengan berjalan kaki sepanjang 2 km, bahkan memandikan jenazah dengan sukarela, sampai ditawari posisi sebagai pegawai tetap kelurahan, sebagai tanda jasa atas kesukarelaannya memandikan jenazah wanita. Namun beliau tolak.
Suatu hari mbah mun mengeluh tulang kakinya sakit, padahal beberapa hari lagi mbah mun akan ikut orang tuaku menikahkan adik laki-lakiku di pulau seberang, Medan. Tapi bukan mbah Mun namanya jika sakit sedikit mengeluh. Mbah Mun tetap ikut ke Medan dan berkunjung ke Danau Toba, Pulau Samosir. Senang sekali melihat mbah Mun masih kuat dan bugar selama perjalanan jarak jauh.
Dari mbah Mun aku belajar untuk selalu memberi dan berbuat baik sepanjang usia, satu rahasia panjang umur dan sumber kesehatan raganya.

0 komentar:

Posting Komentar