Ketika masakan terasa hambar #part 1
Buat yang masih amatir di dapur, pasti pernah kan masak sesuatu yang rasanya… meh. Hambar.
Kurang asin, kurang sedap, kurang pedes. Semua serba “kurang” kecuali dramanya.
Kalau aku, solusinya gampang: nyambel!
Makanya, stok cabai di kulkas itu harga mati. Nah, di sela-sela aku mengulek cabai, Ummi memulai salah satu “adegan” favoritnya—eh, favorit dia, bukan aku.
Ummi: “Jadi, siapa dia?”
Aku: (berhenti ngulek) “Siapa apanya?”
Ummi: “Qia lagi deket sama siapa sekarang?”
Aku: “Nggak ada, Mi.”
Ummi: “Yang kemarin di foto itu siapa?”
Aku menarik napas panjang. Oke. Game over. Melawan radar seorang ibu itu mustahil.
Aku: “Sudah selesai kok… ya, setidaknya menurut Qia. Nggak lanjut, nggak ada magnetnya.”
Ummi: “Cuma itu? Bukan ada hal lain?”
Aku: “Beneran, Mi. Kemarin cuma BBM ucapan ulang tahun. That’s all.”
Ummi: “Jadi… Qia yang menghindar duluan?”
Aku mengaduk sambal pelan. Drama ini butuh background music.
Aku: “Nggak berasa apa-apa, Mi. Hambar. Pengen ngobrol santai, diskusi banyak hal… tapi dia super pendiam kalau di depan Qia. Padahal kata temennya, cerewet juga. Kok kalau depan Qia malah irit kata?”
Ummi tersenyum tipis, ala orang yang menyimpan rahasia.
Ummi: “Kamu kira dulu Abahmu langsung cerewet? Dulu, untuk menatap mata Ummi aja nggak berani. Malu.”
Aku: “Duh, Mi… zaman sekarang mana ada cowok segugup itu.”
Ummi: “Masih ada, Sayang. Sebagian, lah. Terus… gimana?”
Aku: “Gimana apanya, Mi?”
Ummi: “Nggak coba BBM lagi?”
Aku: “Sekali udah, ya udah. Masa Qia duluan? Gengsi, Mi!”
Ummi tidak membalas. Dia malah menuang cabai segunung ke cobek.
Aku: “Mi! Itu banyak banget! Ntar sakit perut, loh.”
Ummi: “Biar nggak gengsian!”
Aku: “Ih, Ummmiii!”
Ummi tertawa kecil, meninggalkan aku sendirian di dapur, ditemani cobek, ulekan, dan gengsi yang masih utuh.
0 komentar:
Posting Komentar