Aku bersyukur terlahir di lingkungan yang mencintai buku. Entah
seberapa dalam kecintaannya pada buku, tapi abahku sukaa sekali memborong buku. Walaupun seringkali buku-buku itu tidak dibaca sampai selesai. Abah banyak membeli
buku-buku motivasi, buku pendidikan, buku agama, novel dalam negeri, bahkan
novel luar negeri alias terjemahan yang menghiasi sebagian besar rak di rumah. Manfaat
dari buku-buku itu tentu saja sangat banyak—terutama untukku.
Aku tak ingat apa buku pertama yang selesai kubaca sampai
halaman terakhir, tapi buku lumayan tebal paling berkesan yang kubaca dan kunikmati
sampai halaman terakhir adalah buku karangan penulis Jepang, Tetsuko
Kuroyanagi; Totto Chan, Gadis Cilik di Jendela. Saat itu usiaku masih
delapan tahun. Sampai sekarang, sudah tiga kali aku membaca ulang novel itu. Dan
masih saja senyum-senyum sendiri saat membacanya.
Hingga saatnya aku pergi jauh dari rumah untuk masuk ke
salah satu pesantren putri di Ponorogo, Jawa Timur, kesukaanku membaca semakin
menjadi-jadi. Apalagi dengan jumlah buku yang beragam dan berlipatganda melimpahnya! Karena
sudah menjamur budaya pinjam-meminjam dan antri membaca buku dalam lingkungan
pesantren itu. Dari ratusan orang yang tinggal di pesantren, jika setiap orang
misalnya membawa 2-3 buku, bayangkan, berapa jumlah buku yang bisa kalian baca selama setahun?
Di pesantrenku hanya boleh bicara menggunakan bahasa Arab
dan Inggris, bergilir bergantian tiap minggunya. Saat itu, kata yang kupelajari
untuk mengantri meminjam buku adalah “Ba’daki!” dalam bahasa Arab dan “After you!”
dalam bahasa anggris, yang berarti, "habis kamu ya!". Jika ada seeorang yang
terlihat sedang membaca buku baru di kamar yang berisi 10-15 orang (Yaa, dulu aku
punya kamar se-rame itu!) bisa dipastikan, akan ada sahut-menyahut panjang dan
perdebatan “after you” tentang giliran membaca buku terbaru itu. Benar-benar
saat-saat yang mengasyikkan dan ngangeni.
Tahun pertama, buku yang menjamur masa itu adalah
novel-novel milik Asma Nadia; Aisyah Putri 1, 2, dan 3. Lalu Diorama Sepasang
Al-Banna dan Dilatasi Memori milik Ari Nur, Kumpulan cerpen Asma Nadia dan
Helvy Tiana Rosa. Dan... Tere Liye! OMG, ternyata aku sudah mengenal tere liye
bahkan sejak SMP!
Saat naik kelas, ketika aku mulai berani berinteraksi dengan
kakak angkatan, seleraku merambah buku-buku terjemahan luar negeri milik Torey
Hayden seperti Sheila; Luka Hati Seorang Gadis Kecil dan Kevin; sebuah Memoar dan The Devi wears Prada.
Lewati beberapa masa sibuk kelas 4-5, saat itu adalah tahun tersibuk di
pesantren, karena tahun SKU, SAKA Bhakti Husada, menjadi pengurus, hingga KMD. Otomatis
buku-buku yang bisa dibaca berkurang di waktu super sibuk itu. Ah, ya, tetap
saja kami tidak ketinggalan membaca Serial terakhir Harry Potter and the deathly hallows, novel
berbahasa Inggris yang dibawa langsung dari Amerika oleh guru Native kami, Miss
Natalie Binder. Tahun itu novel karya Dan Brown juga sedang menjamur di indonesia,
dan berkat meminjam aku bisa membaca dua di antaranya yaitu The Da vinci Code dan
Angels and Demons.
Saking banyaknya pilihan buku dan panjangnya antrian
membaca, otomatis kecepatan membacaku meningkat karena dikejar-kejar waktu. Betapa saat itu adalah masa emas dalam dunia
membacaku. Terima kasih, teman-teman dan para kakak dan adik kelas yang telah membawa
buku-buku keren saat itu ke pesantren!
Sore tadi aku mendapat oleh-oleh sebuah novel berjudul Menantu Untuk Ibu karangan Faradhina
Izdhihary yang sudah setengah-selesai. Mungkin malam ini tamat.
Lalu, buku apa yang sedang kamu baca saat ini?
Lalu, buku apa yang sedang kamu baca saat ini?
0 komentar:
Posting Komentar