Minggu, 20 Desember 2015

Budaya Membaca ala Pesantren

Aku bersyukur terlahir di lingkungan yang mencintai buku. Entah seberapa dalam kecintaannya pada buku, tapi abahku sukaa sekali memborong buku. Walaupun seringkali buku-buku itu tidak dibaca sampai selesai. Abah banyak membeli buku-buku motivasi, buku pendidikan, buku agama, novel dalam negeri, bahkan novel luar negeri alias terjemahan yang menghiasi sebagian besar rak di rumah. Manfaat dari buku-buku itu tentu saja sangat banyak—terutama untukku.


Aku tak ingat apa buku pertama yang selesai kubaca sampai halaman terakhir, tapi buku lumayan tebal paling berkesan yang kubaca dan kunikmati sampai halaman terakhir adalah buku karangan penulis Jepang, Tetsuko Kuroyanagi; Totto Chan, Gadis Cilik di Jendela. Saat itu usiaku masih delapan tahun. Sampai sekarang, sudah tiga kali aku membaca ulang novel itu. Dan masih saja senyum-senyum sendiri saat membacanya.

Hingga saatnya aku pergi jauh dari rumah untuk masuk ke salah satu pesantren putri di Ponorogo, Jawa Timur, kesukaanku membaca semakin menjadi-jadi. Apalagi dengan jumlah buku yang beragam dan berlipatganda melimpahnya! Karena sudah menjamur budaya pinjam-meminjam dan antri membaca buku dalam lingkungan pesantren itu. Dari ratusan orang yang tinggal di pesantren, jika setiap orang misalnya membawa 2-3 buku, bayangkan, berapa jumlah buku yang bisa kalian baca selama setahun?

Di pesantrenku hanya boleh bicara menggunakan bahasa Arab dan Inggris, bergilir bergantian tiap minggunya. Saat itu, kata yang kupelajari untuk mengantri meminjam buku adalah “Ba’daki!” dalam bahasa Arab dan “After you!” dalam bahasa anggris, yang berarti, "habis kamu ya!". Jika ada seeorang yang terlihat sedang membaca buku baru di kamar yang berisi 10-15 orang (Yaa, dulu aku punya kamar se-rame itu!) bisa dipastikan, akan ada sahut-menyahut panjang dan perdebatan “after you” tentang giliran membaca buku terbaru itu. Benar-benar saat-saat yang mengasyikkan dan ngangeni.

Tahun pertama, buku yang menjamur masa itu adalah novel-novel milik Asma Nadia; Aisyah Putri 1, 2, dan 3. Lalu Diorama Sepasang Al-Banna dan Dilatasi Memori milik Ari Nur, Kumpulan cerpen Asma Nadia dan Helvy Tiana Rosa. Dan... Tere Liye! OMG, ternyata aku sudah mengenal tere liye bahkan sejak SMP!

Saat naik kelas, ketika aku mulai berani berinteraksi dengan kakak angkatan, seleraku merambah buku-buku terjemahan luar negeri milik Torey Hayden seperti Sheila; Luka Hati Seorang Gadis Kecil dan Kevin; sebuah Memoar dan The Devi wears Prada. Lewati beberapa masa sibuk kelas 4-5, saat itu adalah tahun tersibuk di pesantren, karena tahun SKU, SAKA Bhakti Husada, menjadi pengurus, hingga KMD. Otomatis buku-buku yang bisa dibaca berkurang di waktu super sibuk itu. Ah, ya, tetap saja kami tidak ketinggalan membaca Serial terakhir  Harry Potter and the deathly hallows, novel berbahasa Inggris yang dibawa langsung dari Amerika oleh guru Native kami, Miss Natalie Binder. Tahun itu novel karya Dan Brown juga sedang menjamur di indonesia, dan berkat meminjam aku bisa membaca dua di antaranya yaitu The Da vinci Code dan Angels and Demons.

Saking banyaknya pilihan buku dan panjangnya antrian membaca, otomatis kecepatan membacaku meningkat karena dikejar-kejar waktu.  Betapa saat itu adalah masa emas dalam dunia membacaku. Terima kasih, teman-teman dan para kakak dan adik kelas yang telah membawa buku-buku keren saat itu ke pesantren!

Sore tadi aku mendapat oleh-oleh sebuah novel berjudul Menantu Untuk Ibu karangan Faradhina Izdhihary yang sudah setengah-selesai. Mungkin malam ini tamat. 
Lalu, buku apa yang sedang kamu baca saat ini?

0 komentar:

Posting Komentar