Sabtu, 27 Februari 2016

Being Maximal!




I’m not working for money, nor passion, I’m working for contribution. -Anonymous
Khairun-naasi anfa’uhum wa ahsanuhum khuluqan.
Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang-orang lainnya (kepentingan banyak orang, jamak) dengan akhlaq yang sebaik-baiknya. ~Arabic proverb


Pernahkah kamu benar-benar merenungkan hidup, bahwa apakah kamu benar-benar telah menjalaninya dengan maksimal? Aku sedang memikirkannya. Bagaimana jika aku benar-benar menjalankan segala sesuatunya dengan maksimal? Apakah akan seperti ini jadinya? Atau, dengan nada paling pesimis dari hati, ah, walaupun sudah berusaha maksimal pun toh akan begini-begini saja.

Tetapi kita muslim yang sangat tidak dianjurkan untuk berandai-andai saja. Demi waktu yang bergerak dengan cepat, akhirnya aku pun mulai bergerak dengan cepat mengiringi langkah sang waktu, walaupun seringkali terseok-seok ketika berjalan, bahkan terjatuh. Lalu bangkit. Lalu jatuh lagi. Kemudian, ketika bangkit lagi, aku menemukan banyak sumber tenaga, dukungan dan kebahagiaan dimana-mana. Demi berubahnya zaman, aku harus berubah. Lalu seiring berakhirnya bulan Februari awal tahun baru ini, aku pun menyadari satu hal: Aku bertransformasi menjadi orang lain yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Aku mulai mengerjakan apapun yang ada di depanku dengan sungguh-sungguh. 

Ketika menyambut hari yang baru, aku bisa merasakan sensasi hari itu, dari perasaan menggebu-nggebu akan menyambut pekerjaan, atau mau masak sarapan apa hari ini, senang, gundah gulana, dan yang terlebih dari semua sensasi itu adalah hati yang berseri-seri. Seolah-olah seperti aku menemukan ritme hidupku. Adakah hari-hari yang lebih berbahagia selain menyambut hari itu dengan hati yang berseri-seri? :)
Ah, benarkah aku sudah sedewasa itu? Lalu siapa lagi yang akan merubah diri kita jika bukan kita sendiri yang merubahnya? *dalem

Berawal dari kelas bercerita
Sejak penghujung 2015, tawaran mengajar menghampiriku. Alih-alih langsung menerima, aku ciut. Nggak pede. Banyak orang yang ingin bekerja dengan harus melamar terdahulu, bersusah-payah bikin resume diri, kok aku langsung dengan gampangnya dilamar pekerjaan? Sadar dong caaa, heyyy siapa elo?? Suara berkecil hati terus-menerus merongrong menambah sisi pesimisku. 

Tapi ini adalah tantangan, kata abah. Ortu terus mendukungku sampai sebulan kemudian, Aku bertemu ketua komite sekolah lain yang meminta hal yang kurang lebih sama: tawaran mengajar yang lain. Padahal, aku tengah mengurus lamaran kerjaku yang pertama untuk sebuah Institusi Pemerintah di awal tahun ini. Akhirnya pertimbangan yang matang dimulai. Karena opsi pertama adalah sekolah baru yang baru meluluskan satu generasi, yang insyaALLAH menurutku adalah sekolah yang embrionya akan terus tumbuh berkembang, jadi aku putuskan masuk ke sekolah itu, dan aku akan ikut berkembang di dalamnya. Opsi lainnya adalah karena sekolah itulah yang melamar duluan, tentu saja. Dengan catatan: Aku akan mengawal murid-muridku menjadi melek dunia literasi, di samping mengajar bahasa Inggris.

Akhirnya setiap malam sebelum mengajar keesokan harinya aku kembali menemukan diriku yang baru. Besok materi apa yang akan kusampaikan? Apakah buku ini kira-kira baik untuk materi minggu depan? AH! Harus ke toko buku lagi. Stok materi habis! Setiap hari selalu ada insiden kebakaran jenggot karena perubahan dari wanita malam menjadi wanita pagi! Hahaha

Dan aku menamai kelasku dengan kelas bercerita. Satu kelas yang benar-benar terinspirasi dari orang lain yang akhirnya kuwujudkan!

Ada yang sudah baca Daun yang Jatuh Tidak Pernah Membenci Angin nya bang Tere-Liye? Yang sudah baca pasti kenal dengan karakter kak Danar. Okey kuakui aku emang terhanyut-hanyut dengan novel satu ini alias fans nomor wahid. Tapi itu semata-mata karena baru kali ini baca novel Tere-Liye dengan plot flash back dan kebetulan saja beberapa kisahnya memang pernah kualami. (yang terakhir gak usah terlalu percaya aja).
Kak danar adalah penyelamat hidup Tania, seperti seorang dewa yang khusus dikirim Allah untuk memberi Tania dan keluarga kecilnya harapan hidup yang lebih baik dari kerasnya hidup di jalanan. Dan kak Danar ini, mempunyai kelas bercerita untuk anak-anak kompleks tiap minggu di rumahnya. Kebiasaan yang Akhirnya menurun kepada Tania dan Dede, adiknya, ketika mereka berdua tinggal bersama kak Danar dan beranjak dewasa.

Kembali ke kelas bercerita, ada kepuasan tersendiri dari berbagi apa yang telah kita lihat dan baca dari buku, bahkan hidup, untuk orang lain. Apalagi melihat ekspresi penasaran anak-anak yang menunggu kelanjutan ceritaku sambil melingkar duduk di sekitarku. Sebisa mungkin, walaupun aku memang bakat galak, aku membuat kelasku senyaman-nyamannya kelas yang ingin aku ciptakan, agar apa yang aku sampaikan, mengena ke sanubari kecil mereka. Tentunya dengan diiringi materi-materi yang baik untuk anak-anak seumur mereka.

Jauh sebelum aku mengenal Daun yang Jatuh Tidak pernah membenci angin, aku mengenal dunia bercerita dari Almarhum kakekku. Beliau adalah pencerita ulung di madrasah tempat aku menimba ilmu agama dulu, yang bisa memainkan mimik dengan ekspresif (Sampai saat ini aku masih berusaha bermimik bagus sesuai alur cerita, tapi masih susah). Dan putrinya, alias Ummi, Ibundaku, yang juga pendongeng sejati. Mungkin dari situlah intuisi berceritaku dimulai, hingga akhirnya tercipta kelas bercerita. Bukan main-main... ini bukan hanya khayalan atau bayangan saja...
Kelas berceritaku akhirnya benar-benar tercipta! Alhamdulillah! Terima kasih Ya Rabb!



Asal kau tahu, kamu akan selalu menemukan dirimu yang lain, dirimu yang kamu belum pernah menjadinya sebelumnya. Walaupun seringkali manusia melakukan kesalahan, yang terbaik adalah memperbaiki diri. Manusia memang telah diilhami oleh penciptanya untuk terus berkembang menjadi insan yang lebih baik, selalu.

0 komentar:

Posting Komentar