Rabu, 13 Agustus 2025

One Fine Day beneath the German Sky

Sudah hampir dua tahun aku bersahabat dengan kata-kata dalam Bahasa Jerman. Setiap suku kata yang kuucap terasa seperti batu kecil yang kutata, satu demi satu, membentuk jembatan menuju mimpiku. Di kepalaku, selalu ada satu gambar yang tak pernah pudar: aku, berjalan di jalan setapak pedesaan Jerman. Rumput bergoyang pelan ditiup angin musim semi, udara segar membawa aroma roti yang baru keluar dari oven sebuah rumah kecil di ujung desa. Dari kejauhan, lonceng gereja berdentang lembut, seperti menyapa pendatang baru. Di sisiku, anak-anakku melangkah riang, mata mereka berbinar menyambut hari sekolah. Kami bercakap-cakap dalam bahasa yang dulu asing, namun kini terasa seperti lagu yang sudah lama kukenal. Setiap hari, aku memungut satu kata baru, menyimpannya rapi di sudut hatiku. Kadang, ada kata yang sulit dijinakkan, tetapi aku tahu, pada waktunya semua akan bersatu, menjadi kunci yang membuka pintu kehidupanku di sana. Dan suatu hari nanti, ketika mimpiku berpijak di bumi Jerman, aku akan mengucap terima kasih pada diriku yang tak pernah berhenti belajar, meski jalannya panjang dan anginnya kadang kencang.

Kamis, 31 Juli 2025

Aku Ibu, Tapi Tak Selalu Siap

Sampai detik ini, aku masih belum benar-benar tahu… Kenapa dulu aku begitu menginginkan anak. Apakah karena cinta? Apakah karena naluri? Atau karena kupikir, aku akan mampu menjalani semuanya? Kukira aku siap mengasuh kedua anakku. Kukira, dengan bekal seadanya ini, aku sanggup jadi ibu yang siaga. Yang hadir. Yang tahu harus berbuat apa. Tapi ternyata aku salah. Aku belum siap jadi ibu. Jauh dari siap. Dan aku mulai menyadarinya, pelan-pelan, di sela hari-hari yang terus berjalan. Kupikir dengan hadir setiap hari, semuanya cukup. Ternyata tidak. Ternyata menjadi orang tua tidak hanya soal fisik yang ada di dekat mereka, tapi juga tentang hati, kesabaran, kejernihan, dan kepekaan yang… tak selalu kupunya. Aku punya standar. Dulu, sebelum menjadi ibu, aku sudah menetapkannya. Aku ingin jadi orang tua yang mendengarkan. Yang sabar. Yang hadir utuh, bukan hanya tubuh. Tapi kenyataannya… standar yang dulu kugenggam kuat, justru sulit kujalani untuk anakku sendiri. Jujur, aku takut sekali menghadapi waktu. Takut kehilangan momen, takut menyadari bahwa mereka tumbuh sementara aku masih sibuk meraba-raba cara mencintai dengan tepat. Mereka tumbuh cepat. Terlalu cepat. Dan aku merasa tertinggal. Aku belum menjadi ibu andalan mereka. Belum seperti yang kuharapkan. Tapi aku masih di sini. Belajar. Gagal. Menyesal. Memulai lagi. Dan mungkin, itu juga bagian dari menjadi ibu. Bukan tentang selalu tahu arah. Tapi tentang terus berjalan, meski dengan langkah yang gemetar.

Ketika Iman Terasa Kosong

Kadang aku meragukan status muslim yang kusandang selama ini. Aku seorang muslim sejak lahir. Sejak kecil, aku diajarkan Islam secara konservatif—tentang halal dan haram, dosa dan pahala, surga dan neraka. Bahkan aku pernah tinggal di pesantren modern selama enam tahun, mendalami ilmu fikih, akidah, hingga bahasa Arab yang menjadi bahasa utama kitab-kitab klasik. Aku cukup fasih menerjemahkan ayat-ayat Al-Qur'an dan teks-teks keagamaan. Secara lahiriah, aku adalah seorang muslim yang 'siap jadi imam'. Aku masih melaksanakan salat lima waktu. Jika dilihat dari luar, mungkin hidupku tampak utuh dalam bingkai agama. Tapi entah mengapa, ada satu hal yang tidak bisa kujelaskan: aku merasa kosong. Aku salat, tapi tidak tenang. Aku membaca doa, tapi terasa hampa. Aku mengangkat tangan, tetapi rasanya seperti bicara ke dinding. Aku melakukan semua yang diajarkan, tetapi hatiku tak kunjung merasa dekat dengan Allah. Aku merasa seperti sedang mengikuti ritual, bukan menjalani hubungan. Aku menjalankan agama, tapi kehilangan makna. Apakah ini wajar? Apakah ini bagian dari krisis spiritual yang juga dialami banyak muslim lainnya? Ataukah hanya aku yang sedang tersesat diam-diam di dalam kerumunan orang-orang beriman? Aku bertanya-tanya: apakah iman itu seharusnya selalu membuat hati tenang? Mengapa aku justru merasa asing dalam identitas yang sejak lahir kupakai? Mengapa semakin aku "tahu" tentang agama, semakin terasa jauh hubunganku dengan-Nya? Kadang aku iri pada mereka yang bisa menangis saat berdoa. Yang bisa merasa dekat dengan Allah hanya dengan menyebut nama-Nya. Yang bisa bangun malam dengan hati ringan dan rindu, bukan karena rasa bersalah atau takut. Tapi mungkin inilah fase yang perlu dilewati. Mungkin ini bukan kegagalan iman, tapi fase pendewasaan iman. Mungkin selama ini aku terlalu sibuk menjadi "muslim yang benar" sampai lupa menjadi "manusia yang jujur" di hadapan Tuhannya. Iman tidak selalu hadir dalam bentuk keyakinan yang menggelegar. Kadang ia hadir sebagai keraguan yang lembut, yang memaksa kita untuk kembali mencari. Mungkin justru di sanalah pintu iman yang lebih dalam terbuka. Hari ini, aku belum menemukan jawaban. Tapi setidaknya aku tahu satu hal: keraguan ini bukan akhir dari segalanya. Ia mungkin adalah ajakan lembut dari Tuhan agar aku berhenti menjalani agama sebagai kewajiban, dan mulai merasakannya sebagai hubungan. Dan jika kamu juga pernah merasa seperti ini, mungkin kita tidak sedang jauh dari Tuhan. Mungkin kita justru sedang dipanggil-Nya lebih dekat—dengan cara yang lebih jujur, lebih sunyi, dan lebih manusiawi.

Manajemen Perhatian

Pagi itu, aku memperhatikannya diam-diam. Tangannya cekatan menyapu halaman, tubuhnya membungkuk di bawah cahaya yang masih lembut. Tidak ada suara musik, tidak ada notifikasi dari ponsel yang menyela geraknya. Karena memang tidak ada ponsel. Hanya ada tubuh yang bekerja, pikiran yang hadir penuh, dan rutinitas yang dijalani tanpa jeda. Sementara aku, yang merasa sibuk, sering kehabisan waktu sebelum hari benar-benar dimulai. Kadang aku menyalahkan banyak hal—anak, pekerjaan, mood—tapi mungkin yang paling sering kucuri sendiri adalah perhatianku. Dan Mbak Is, tanpa teori produktivitas, tanpa gadget, tanpa aplikasi—sudah lebih utuh menjalani hidup daripada banyak dari kita yang mengaku sibuk. Kadang aku berpikir, mungkin rahasia produktivitas Mbak Is bukan terletak pada niat, tapi pada fakta sederhana: beliau tidak punya grup WhatsApp keluarga besar. Tidak ada notifikasi dari marketplace tengah malam, tidak ada video kucing lucu berdurasi 3 menit yang harus ditonton segera. Sementara aku—dengan semua fitur pengingat, alarm, dan to-do list digital—masih juga kewalahan menyelesaikan dua pekerjaan ringan. Mungkin karena Mbak Is menatap hidup, sementara aku menatap layar. Yang membuatku terdiam: Mbak Is tampak bahagia. Bukan karena ia punya banyak, tapi karena ia tak sibuk kehilangan. Tak satu kali pun kulihat dia memegang ponsel. Bagi kami, layar kecil itu adalah penghibur, pelarian, sekaligus pencuri waktu. Tapi Mbak Is? Ia menyelesaikan begitu banyak hal, sementara aku... kadang belum selesai mandi pun sudah tenggelam dalam notifikasi. Mungkin bukan manajemen waktu yang buruk—tapi manajemen perhatian. Dan Mbak Is, entah bagaimana, menguasainya dengan diam-diam.

Rabu, 15 Maret 2023

Mbak Is, Orang dengan Produktivitas Paling Tinggi di Rumah Kami

 Namanya Mbak Is. Usianya mungkin sekitar 40an akhir atau 50an awal. Beliau adalah ART di rumah kami. Mbak Is tinggal tak jauh dari rumah tinggal kami dengan kakaknya yang bernama mbak Tur. Jika mbak Is adalah asisten rumah tangga, mbak Tur adalah asisten di toko. Keduanya adalah sosok pekerja keras dan disiplin di bidang mereka masing-masing.


Jika aku sudah menikah selama lima tahun, maka kira-kira aku sudah menikmati hidangan buatan mbak Is selama 3 tahun lebih atau 2700 kali makan. Masakan mbak Is gak ada obatnya! Semuanya lezat dan gak bisa didebat. Aku orang yang ga bakal bisa rewel sama masakan mbak Is pokoknya. Berkat mbak Is pula skill masakku tidak ada peningkatan. Aku hanya menguasai beberapa menu sederhana dan berkat pandemi selama dua tahun, tahu cara membuat adonan roti. Tapi selebihnya, karena tidak pernah masak, skill memasakku yaaa... begitu-begitu saja. Kreatifitas memasak hanya muncul saat anak benar-benar tidak mau makan.


Jam kerja mbak Is sangat panjang dan padat. Mbak Is datang ke rumah kami sebelum pukul enam pagi. Beliau selalu memulai aktivitas pagi dengan menanak nasi. Ajaibnya, nasi buatan mbak Is hingga sore jarang sekali bau atau berubah warna. Dia tahu cara menghitung jumlah kebutuhan nasi harian berdasarkan jumlah orang di rumah. Jadi, nasi selalu baru dan tidak pernah kurang. Dengan tangan ajaib mbak Is, aku selalu makan masakan baru dan hangat. Jika ada nasi sisa pun, selalu bermanfaat karena dijemur dan ternyata bisa dijual untuk pakan bebek (asli aku baru tahu soal ini dari mbak Is!! Kalo ada nasi sisa, dijemur dulu sampe kering lalu dijual ya gaesss!)


Mbak Is tidak hanya mengerjakan 1 pekerjaan dalam 1 waktu. Saat menanak nasi, beliau juga memasukkan seluruh pakaian kotor ke mesin cuci, dilanjutkan menyapu halaman (yang cukup luas!), menyirami tanaman (yang cukup banyak). Selain itu, kadang dia juga menyiapkan sarapan untuk semua orang!


Tidak cukup sampai di situ, mbak Is begitu kuatnya mengerjakan semua itu tanpa sarapan terlebih dahulu. Dia terbiasa sarapan pada pukul sembilan pagi. Sesaat sebelum mandi. Saat aku kerepotan dengan kedua anakku, dia juga ringan tangan membantu tanpa ba bi bu...


Dan yang membuatku heran.... Mbak Is terlihat bahagia melakukan semua itu. Dia adalah generasi yang beruntung karena merasa tidak perlu mengenal gadget. Setelah kuamati dengan lebih serius, satu-satunya productivity booster mbak Is adalah karena beliau sama sekali tidak memegang HP!


Jadi dibalik semua pekerjaanmu yang tertunda, ada waktu "haram" yang terlalu banyak kau gunakan untuk berselancar di HP/internet. Makjleb!

Terima kasih telah mengingatkanku, mbak Is😭

Senin, 12 September 2022

Menjadi Ibu yang Lebih Bahagia

 Hai, bu, apa kabarmu hari ini? Sudahkah kau memaafkan dirimu hari ini? Sudahkah kau meluangkan waktu barang 30 menit saja hari ini khusus untuk dirimu saja? Apakah hari ini kamu sudah bilang "I love you" ke pasangan dan anak? Bagaimana caramu mengakhiri hari yang overwhelming? Hmmmmh



Ternyata menjadi ibu masih sangat sulit meski dengan banyak sekali bantuan. Aku tidak membayangkan berada di posisi perempuan yang tak memiliki satu pun sumber bantuan selama mengasuh anak-anaknya.


Ada seorang ibu yang kelelahan bekerja sambil mengasuh anaknya yang masih berusia di bawah 1 tahun, dengan suami yang juga bekerja. Karena latar belakang kepercayaan keluarga suaminya, ibu itu tak leluasa membuat keputusan yang sangat penting menyangkut anaknya sendiri. Perkara vaksin.


Terakhir kali bertemu dengannya, aku hanya bertukar sapa seperti biasa dan ternyata obrolan kami meruncing ke arah vaksinasi anak. Bahkan anaknya hanya menerima vaksinasi sekali saja yaitu sesaat setelah anak itu lahir di RS. 


Saat kutanya kenapa tidak vaksin, kan gratis (Vaksinasi dasar dari Pemerintah)? Katanya tak ada satupun di keluarga suaminya yang membolehkan vaksin (doktrin agama), mereka mengkhawatirkan bahan-bahan yang terkandung di dalam vaksin. Maka anak itu tak menerima satupun vaksinasi dasar selain vaksin pertama di RS saat lahir dulu. Padahal, ibunya sangat ingin anaknya divaksin......

Ya. Mungkin akan ada yg komentar, "Kalau aku jadi dia, aku pastikan anakku divaksin. Bodo amat keluarganya bilang vaksin haram, kek. Blablabla."


Aku pun sebenarnya akan komen begitu. Ternyata....

Dia lebih memilih untuk tidak vaksin demi mempertahankan hubungan baik dengan suami dan keluarganya.


Begitulah. Tidak setiap perempuan beruntung berada di posisi ideal...

Ini udah ekonomi pas-pasan. Keluarganya jg antivak. What the heck....


Apakah dia bahagia dengan pernikahannya? Saya tidak tahu, Bu. mungkin dia bahagia karena berhasil membangun sebuah keluarga yang harmonis. Mungkin dia juga merasa bersalah karena tidak bisa mengutarakan pendapatnya sendiri atau merasa bersalah karena tidak bisa memperjuangkan apa yang terbaik untuk anaknya.


Who knows? Siapa yg tahu?

Yang jelas, perempuan yang bahagia tahu apa yang terbaik untuk dirinya dan orang-orang yang disayanginya, dengan cara apapun dia akan mengupayakan apa yang terbaik untuk tujuannya.


Aku mengamati dua malaikat kecilku yang sedang tertidur pulas malam ini. Semoga aku bisa mengupayakan yang terbaik selalu untuk mereka..

Untuk semua perempuan terutama para ibu yang sedang berjuang hidup dan mati untuk orang-orang yang disayanginya... Semoga Allah selalu melindungi kita, para perempuan hebat! Aamiin!

Minggu, 11 September 2022

Melek Skincare di Usia Menjelang 30

Sejak kecil aku tumbuh menyaksikan ibuku sendiri tidak terlalu peduli dengan penampilan. Apalagi skincare. Dalam mindset Umi (ibu) skincare adalah sama dengan bedak dan lipstik. Padahal dua hal itu adalah hal yang sama sekali berbeda. Yang satu ke utara, satunya lagi ke selatan. -__-


Skincare adalah rangkaian perawatan untuk menjaga kesehatan kulit, sedangkan bedak dan lipstik adalah dua contoh produk make up (alat untuk mempercantik penampilan), bukan untuk merawatnya.



Maka hingga di usia menjelang 30 dan beranak dua ini, sama seperti umi, aku tidak terlalu peduli dengan penampilan. Mungkin beberapa alasan yang memperkuat kebiasaan tak peduli penampilan adalah;


1. Hemat

2. Ribet (ternyata rangkaian perawatan itu lumayan ribet, terutama buat pemula).

3. Malas


Ya. Malas.

Setelah berusaha melek dunia per-skincare-an. Ternyata dunia perawatan kulit itu tidak melulu beli-lalu pakai asal saja; tapi juga harus konsisten.

Contohnya saja rangkaian perawatan buat pemula. Salah satu hal yang wajib dipakai untuk pemakai skincare pemula adalah rajin memakai sunscreeen atau tabir surya.


Setelah rutin memakai tabir surya sebelum memulai aktivitas pagi, dan rajin re-apply atau memakai ulang kembali setiap lima jam (atau saat aktivitas di luar ruangan), kita bisa naik ke kebiasaan selanjutnya yaitu rutin memakai moistureizer cream mulai dari day cream lalu night cream. Nah di sinilah konsistensi dan tingkat ketelatenan pemakai skincare mulai diuji. Seberapa konsistenkah memakainya?

Lalu setelah rajin memakai sunscreeen, day cream dan night cream, selanjutnya adalah rangkaian exfoliasi atau membersihkan kulit mati. Nah ribet banget kan wkwkwkwk.


Exfoliasi ini juga tidak boleh terlalu sering dilakukan, karena akan mempertipis lapisan kulit terluar jika dilakukan terlalu sering. Maksimal seminggu tiga kali. Atau seminggu sekali saja sudah cukup. Lumayan hemat biaya!


Jadi buat pemakai skincare pemula sepertiku, rangkaian skincare yang wajib kamu lakukan dulu adalah cobalah dengan memakai 1 produk sunscreen dulu. Minimal sunscreeen dengan SPF 30 (ada yang bilang karena kita tinggal di negara tropis, jadi dianjurkan untuk memakai yang SPF-nya 50). Pokoknya coba dulu selama 3 bulan untuk konsisten memakai sunscreeen di wajah sebelum memulai aktivitas pagi.


Setelah konsisten dengan sunscreeen, barulah kita boleh 'naik kelas' dengan mengoleksi produk wajib lainnya seperti day cream, night cream dan produk exfoliasi.


Kenapa kita harus belajar memakai skincare secara bertahap? 


Tentu saja untuk menghindari impulsive buying atau membeli yang tak perlu. Keadaan kulit setiap individu berbeda jadi perlu dilatih dengan kebiasaan memilih produk sesuai kebutuhan kulit masing-masing. Sampah yang disumbang dari botol/wadah bekas skincare cukup besar, maka dari itu mari kita kurangi jumlah sampah skincare dengan menambah wawasan tentang apa saja yang sebenarnya dibutuhkan oleh kulit kita.


Semangat buat mengglowing bersama, ya, bestie!



Selama belajar konsisten memakai sunscreeen sepanjang 2022 ini, aku baru pakai beberapa produk sunscreen SPF 30 mulai dari Wardah, Emina, dan yang sedang kupakai sekarang sunscreeen 50 SPF L'oreal Paris, sesuai rekomendasi pemakaian sunscreeen di negara tropis.