Selasa, 23 November 2010

Tentang Cinta Pertamaku

Nggak tau kenapa aku pengen nulis sesuatu... padahal aku dah bilang ke diri sendiri agar tidur lebih awal (walaupun besok libur, hehe). Akhirnya kubuka lagi laptopku, dan aku mulai menulis...

Akhir-akhir ini aku selalu tidur di atas jam sewajarnya aku tidur. Biasanya aku terlelap pukul 10, paling malam jam 11. Tapi sudah hampir 1 bulan ini, aku tidur selalu di atas jam 12! Kenapa bisa gitu? Perasaan aku bukan tipe orang yang terlalu ambil pusing karena suatu masalah? Perasaan lagi, aku juga ngga punya masalah penting yang harus kupikirkan sampai aku ngga bisa tidur gitu..?

Tapi sepertinya aq punya suatu ‘masalah’ yang sedang bermain-main di pikiranku, tetapi kuacuhkan. Sesuatu yang mirip candu dalam hati, bukan suatu masalah yang berat, tapi aku masih kabur untuk menyebutnya apa? Hmm, coba tebak,, pasti kamu tau maksud ku?
Apalagi kalo bukan tentang cinta?? Suatu kata paling abstrak yang terus-terusan menjadi topik hangat dimana-mana.
Hmmm, cinta, love, mahabbah. Oke, bakal aku ceritain tentang “cerita cinta”ku ini satu-satu...

First Love, adakah?
Aku menganggapnya cinta pertamaku, karena dialah orang yang pertama kali dan benar-benar mengungkapkan perasaannya kepadaku. Awalnya cerita klise, tapi menurutku dia istimewa. Aku benar-benar tersanjung ketika dia mengungkapkan perasaannya saat itu, beberapa bulan yang lalu. Detik itu pula, aku ingin menjawab; “Iya, Aku terima,” tapi aq memutuskan untuk menjawabnya besok. Bagi kamu, seorang cewek yang untuk kali pertama ‘ditembak’, siapa yang nggak merasa tersanjung? Aku nggak sabar menunggu hari esok tiba, was-was aku menunggu malam dan akhirnya tertidur. Malam itu aku tak menyadari bahwa sebenarnya tiap malam, ummi selalu memeriksa sms-sms yang ada di inbox-ku. Dan kecurigaan ummi ku pun benar. Ada seseorang yang memang telah menaruh hati padaku.
Petakapun datang keesokan harinya. Ummi memanggilku untuk membicarakan sesuatu. Aq menduga-duga apa yang sebenarnya ingin ummi bicarakan denganku? . Aku takut kalau ummi tidak setuju aku ‘pacaran’!
Tapi akhirnya mengalirlah cerita dari mulut ku. Ummi ku adalah ibu sekaligus sahabat ku, yang padanya aku tak bisa menyembunyikan suatu rahasia sekecil apapun. Masih kuingat pesan ummi, aku baru pertama kalinya mengalami ini, sedangkan ‘dia’, (ex: Ivan) dan aku akan tinggal berjauhan nantinya. Sebelumnya Ivan memang mendaftar di suatu perguruan di Bandung, sedangkan aku sudah diterima di suatu perguruan tinggi di Yogyakarta. Ummi bersikap amat demokratis waktu itu. Semua terserah padaku nantinya. Ummi hanya menasehati, bukan memintaku untuk berbuat sesuatu. Malam itu, masih diselingi keraguan untuk menjawab apa, aku meminta Ivan untuk datang ke rumah.
Esoknya ketika dia datang, Aku benar-benar kebingungan... harus dimulai dari mana pembicaraan ini? Setelah lama saling diam, akhirnya aku yang memulai, “Emm, van.. ini tentang jawaban yang kamu minta kemarin.. tapi kamu janji ngga marah kan, apapun jawabanku?”
Ivan tersenyum, “Kenapa harus marah, cha? Perasaan kan nggak bisa dipaksakan. Aku terima apapun keputusanmu.”
Aku masih ragu, ”Setelah aku kasih jawaban ini, apa hubungan kita masih berjalan seperti dulu?”
“akan tetap seperti biasanya,” jawab Ivan santai.
“Van, aku hargai kamu mau jujur tentang perasaan mu padaku tapi aku masih ragu kalau aku bisa menjalaninya. Kita berdua sedang melangkah ke dunia baru, van... sama-sama akan merantau jauh dari rumah.. Aku kuliah di Jogja, sedangkan kamu nantinya di Bandung. Kita akan memiliki teman baru, bukan hanya dari negeri ini saja, bahkan dari seluruh penjuru dunia...” Aku menghela nafas sejenak.
“... dan aku nggak bisa menjalani ini karena ini adalah yang pertama kalinya untukku, aku benar-benar menyesal harus memberi jawaban ini...”
“Van..? kamu marah ya?”
“Nggak cha. Aku nggak marah sama sekali, tapi sekarang aku lega.”
“Aku minta maaf, van..” Aku sudah tidak berani lagi mendengar tanggapannya.
“Nggak ada yang perlu minta maaf atau dimaafkan cha.. aku lega karena telah mengungkapkan perasaan ini, Harusnya aku yang minta maaf, mungkin ini terlalu cepat,”
Entah bagaimana percakapan itu mengalir begitu saja, tak jelas siapa yang mengakhirinya. Aku mengantar Ivan sampai beranda rumah ku. Ketika hendak menyalakan motor, Ivan menoleh kepadaku, “Thanks for all, cha,” sembari tersenyum, lagi. Aku hanya tersenyum hambar membalas senyumannya. Motor itu pun melaju meninggalkan halaman rumah ku. Ku pandangi punggung orang yang mengendarai motor itu hingga hilang di tikungan kompleks. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menyesali keputusan ini. Air mataku jatuh satu-satu.
Janji Ivan benar-benar dia tepati, kami berteman baik hingga kini, dan selalu saja mempunyai topik untuk didebatkan bersama.
Dan walaupun kita nggak pacaran, tapi bagiku, dia tetaplah cinta pertama ku

bersambung ke next story... ^_^

0 komentar:

Posting Komentar