Sabtu, 01 Desember 2018

Inisiasi Menyusui Dini

Sebenernya aku udah banyak baca tentang IMD, aslinya IMD dilakukan langsung begitu tali pusar dipotong. Tapi berhubung baby K harus langsung diobservasi karena belum nangis begitu keluar, demi kebaikan bersama, kita menyerahkan baby K kepada tenaga kesehatan yang lebih ahli untuk merawatnya dulu.

Beberapa saat setelah diobservasi dan dibersihkan, baby K dibawa oleh kedua neneknya ke pangkuanku dengan suara tangis yang melengking. Maa syaa ALLAH, begitu besar kuasamu.. Rasanya mau nangis aja kalo inget momen magis itu.

Baby K udah dipakaikan baju baru berwarna ungu pilihanku, dan mulai diletakkan di atas dadaku. Seperti sudah fitrahnya, dia mengemut jari jempolnya dan meraba-raba mencari sumber makanan yang mirip dengan jempolnya (pinter banget kamu nakk) dan ketemulah si putingku yang kanan.. mulai merangkak pelan menuju puting sebelah kanan yang sayangnya mblingsep (rata/datar). setelah mencoba dengan desperate, karena puting datar, pecahlah tangis baby K yang melengking itu.. maaf ya nak, puting umi yang kanan datar hiks..
akhirnya karena gak tega, aku mulai ganti posisi duduk dan menyusuinya dengan puting yang kiri. entahlah, sepertinya IMD ku gagal.. hahaha

Tapi setelah banyak menggali ilmu per-ASI an.. aku mengetahui bahwa dengan terus menyusukan bayi, pada akhirnya puting datar itu akan menonjol oleh hisapan bayi and it's true.. sepertinya beberapa hari dari rumah sakit, aku mulai bisa leluasa menyusui dengan kedua payudaraku.. Alhamdulillah 😍

btw ASI ku baru keluar agak deras di malam ketiga setelah melahirkan dengan normal, jadi jangan khawatir ya buibu kalo ASInya awal-awal pasca melahirkan masih seret.. tetep susuin terus bayinya dan kelola stress dengan baik, agar tetap menyusui dengan bahagia.

Perjalanan menyusuiku masih panjang, dan masih perlu banyak ilmu yang harus dipelajari. Mari semangat mengASIhi buibu! semoga kita lulus menyusui bayi-bayi kita sampek 2 tahun sesuai perintah Al-qur'an ya! AAMIIN

Sabtu, 24 November 2018

Menggenggam tangan kecilmu untuk pertama kalinya, cerita persalinanku part 3

Sudah empat jam sejak masuk rumah sakit. Bagaimana kalau dokter dan bidannya tidak sabar, lalu memutuskan SC? Aku harus bagaimana… 😫 Apalagi sekarang aku sudah tidak boleh bergerak sama sekali. Bedrest total.
Ya Allah… dengan segala kerendahan hati, hanya Engkau yang bisa memudahkan proses ini. Bantu hamba melahirkan anakku dengan selamat…
Pukul 22.00 – Setelah pemeriksaan VT berkali-kali Umi dan ibu mertua masuk ke ruang bersalin. Suasana agak suram. Di ranjang sebelah, seorang ibu mengalami kejang dan muntah pasca persalinan sejak pukul 19.00 tadi. Para bidan dan perawat sibuk memantau detak jantungnya. Keringatku bercucuran. Tut… tut… bunyi monitor di sebelah terus terdengar, memecah konsentrasiku. Ya Allah… rasanya mau mati saja. Bukaan masih dua… 😭😭 “Masih kuat, Ca?” tanya Umi. “Aku yakin Ica kuat,” ibu mertua ikut menyemangati. Aku hanya mengangguk kecil. Kontraksi datang lagi, semakin kuat. Tarik napas dalam-dalam, hembuskan sambil beristighfar. Sakitnya semakin menjadi. Syorrr… air ketubanku keluar lagi, bercampur darah. “Yang… lihat mataku. Aku yakin kamu kuat, kamu bisa,” bisik suamiku sambil menggenggam erat tanganku. Aku menatap matanya. Sorotnya tajam, penuh keyakinan. Bismillah… aku kuat. Sebentar lagi aku akan memeluk anakku. “Makan kurma lagi, yuk?” tawarnya. Pukul 23.00 – Dokter obgyn datang “Pak, ada dua pasien. Yang ini preeklamsia pasca partus normal. Yang sebelah KPD dari magrib, masih bukaan dua,” jelas bidan pada dokter. Setelah memeriksa ibu di sebelah, giliranku. Ternyata dokternya, dr. Joyo, teman kerja tantenku di RS lain. “Masih kuat, Mbak? Ayo USG dulu.” Aku tersenyum lemah. Detak jantung janin normal, ketuban masih bagus. “Ayo sekarang VT, ya.” “Mbak bidan, ini bukaan dua opo? Iki wes meh babaran! Udah bukaan delapan!”
ALHAMDULILLAH… ALLAHU AKBAR!
Suamiku tersenyum lebar, aku pun lega. Sementara di luar ruang bersalin “Gimana, Mas Ad?” tanya Umi. “Alhamdulillah, udah bukaan delapan, Mi. Sebentar lagi lahir.” Entah karena pemeriksaan awal yang keliru atau kekuatan doa yang membuat bukaan dua menjadi bukaan delapan dalam sekejap. “Mbak besan, saya mau qiyamul lail dulu ya, semoga lancar,” kata ibu mertua sambil menuju mushola. Menjelang mengejan Badanku menggigil. Kakiku gemetar. Gamis dan kerudungku basah kuyup oleh ketuban dan darah. “Bu… badan saya menggigil,” ucapku. “Wajar, Mbak. Bajunya basah semua. Mau ganti repot, sudah waktunya. Saya kasih obat dulu, ya,” jawab bidan sambil memasukkan obat berbentuk bulat ke anus. Alhamdulillah, darahnya bukan dari vagina. Nyeri berkurang. Setengah jam kemudian, dorongan kuat datang. Sudah waktunya mengejan! “Bu bidan! Kayaknya udah mau ngeden!” seru suamiku. Bidan-bidan bergegas masuk, memakai masker. “Ayo, Mbak. Tarik napas panjang…” Aku mengejan otomatis—sekali nafas, plonggg! Bayi lahir pukul 23.55 WIB, lima menit sebelum tanggal 13. Tidak sempat mendengar tangisnya. Tali pusar dipotong, ia langsung dibawa observasi. Setelahnya… Suami menatapku dengan sorot bangga.
“Terima kasih, Sayang. Terima kasih sudah kuat.” Tiga puluh menit kemudian, bayi dibawa masuk bersama dua neneknya. “Selamat ya, sudah jadi ibu,” ujar Umi sambil menggenggam tanganku. “Selamat ya, Nok. Kamu kuat banget!” kata ibu mertua.
Wajahnya… matanya jelas dari abinya. Hidung mancungnya juga. Lalu, dari aku dapat apa? 😂 Tangisnya keras membahana. “Yang, kakak tadi lilit tiga di leher. Waktu keluar agak biru.” Aku terkejut. Di USG tidak terlihat. Ya Allah… rasanya ingin sujud syukur. Alhamdulillah, bayi ini berjuang seperti ibunya. Untuk pertama kalinya, aku menggenggam tangan mungilnya. Untuk pertama kalinya, aku memeluknya. Rabbii hablii minash shaalihiin…

Kamis, 22 November 2018

Cerita Persalinanku di bulan Agustus: bukaan momen

Alhamdulillah, mucus plug—lendir darah tanda mau melahirkan—keluar di saat yang paling tepat. Kok bisa? Ya gimana enggak, suami sudah pulang sejak kemarin, dan hari itu, 12 Agustus, bertepatan dengan jalan sehat kampung sekaligus hari Minggu. Artinya, semua anggota keluarga libur kerja. Lengkap! Inilah kerja sama perdana antara aku dan si sinok baby. Toss dulu, Gendukku sayang! 👏👏👏 Setelah sukses membangunkan satu rumah—yang baru saja lelah menyiapkan doorprize jalan sehat—aku langsung kirim foto lendir darah ke Bu Tina, bidan langganan. Balasannya singkat tapi tegas: “VT ke tempat praktik saya, ya.” Pukul 11 siang, kami sampai di rumah bidan. Begitu jari Bu Tina menyentuh, aku spontan merintih, “Aduh, aduh…” “Belum bukaan, Mbak Ica. Tapi sudah dekok,” jelasnya sambil tersenyum. “Mungkin lahirnya malam ini atau besok. Namanya juga anak pertama.” Keluar dari rumah bidan, kami malah sempat mampir makan bakso di Pasar Kendal. Prinsip Umiku: “Lahiran itu harus kuat makan, biar kuat ngeden!” Masuk waktu zuhur, kontraksi mulai datang. Awalnya timbul-tenggelam, kadang hilang kalau aku sibuk melakukan aktivitas lain. Karena masih kuat, aku malah squat berkali-kali supaya kepala bayi cepat turun. Bumer menelepon, pesannya jelas: jangan tiduran, banyakin jalan. Ya sudah, aku dan suami keliling kompleks lagi—padahal pagi tadi sudah jalan sehat keliling desa. Kali ini tujuannya memancing kontraksi biar lebih intens. Pukul 14.00, kontraksi mulai terasa lebih “serius”. Suami langsung menginstal contraction timer, tapi ritmenya masih nggak konsisten. Sampai rumah, aku masih sempat squat 15 menit (hebat nggak tuh?), tapi akhirnya duduk berhadapan sama suami, lalu membuka mushaf. Aku membaca Surat Maryam. Sampai di ayat yang menceritakan Maryam sendirian menahan sakit kontraksi, aku tidak sanggup menahan air mata. “Kasihan banget Maryam… lahiran nggak ada yang nemenin…” Suamiku menatapku tak bisa berkata-kata. “Ntar kalau aku mau nyerah, kamu harus kuatkan aku, ya.” Kami pun berpelukan seperti teletubbies—minus kostumnya. Pukul 15.00, Umiku memberi saran: “Ke puskesmasnya habis Maghrib aja, biar bukaan udah banyak.” Aku mengangguk, berharap “aamiin” yang tulus di dalam hati. Sore itu aku minta suami belikan pepaya. Bukan craving, tapi demi urusan BAB sebelum lahiran. Baru saja sendok terakhir masuk mulut, pyok!—ketubanku pecah. PANIK! Umi langsung jadi komandan lapangan: “Aabah siapin mobil. Mas Ad nggak usah mandi, siapin tas lahiran sama perlak buat duduk Ica di mobil!” Masalahnya, jalur ke rumah bidan harus lewat arah Jakarta, dan… macet total. Bu Tina menyarankan ke RSI, tapi itu juga arah Jakarta. Solusi: RSUD Soewondo Kendal. Adzan Maghrib berkumandang saat aku sampai di UGD. Hasil VT: baru bukaan 1. Karena ketuban sudah pecah, aku langsung diinfus antibiotik. Pukul 19.00, aku dipindah ke ruang bersalin—pas banget ada ibu lain yang sedang crowning. Aku ikut ngilu. VT lagi: bukaan 2. Kontraksi makin intens, tapi aku masih sempat ke toilet (berkah pepaya, lancar). Keluar dari ruang bersalin, aku duduk di samping suami sambil meminta dibacakan Surat Maryam. Belum sampai setengah, suamiku malah ikut mewek. Bumer dan Pakmer datang membawa kurma. “Ambil napas dalam, keluarkan sambil istighfar,” kata Bumer. Kontraksi makin kuat. Setiap rasa sakit datang, bayangan semua kenakalan dan dosa pada Umi terputar di kepala seperti film hitam putih. Aku menggenggam tangan Umi: “Maafkan semua kesalahan Ica, Mi. Maafkan kalau belum bisa jadi anak yang berbakti.” Pukul 21.00, bidan menegur karena aku keluar dari ruang bersalin. Aku digiring kembali, apalagi setiap rembesan ketuban sudah bercampur darah. Gamis dan kerudung basah kuyup. Jam 22.00, VT lagi: masih bukaan 2. Rasanya… potek hati! Mulesnya sudah level dewa, tapi progresnya lambat. Pikiran mulai kacau: “Jangan-jangan nanti SC?” Dalam hati, aku hanya bisa berdoa: Ya Allah, Engkau yang Maha Memudahkan… bantulah aku melahirkan anakku dengan selamat. Bersambung di Part III…

Rabu, 21 November 2018

Cerita Persalinanku di momen agustusan

Part I Pagi itu aku terbangun dengan mata sembab. 16 Juli 2018—suamiku harus berangkat ke Jakarta selama 4 minggu, meninggalkanku yang sedang hamil 9 bulan (36 minggu, HPL 8-8-18). Perasaanku campur aduk. “Gimana kalau lahirnya maju dari HPL? Gimana kalau nanti malam tiba-tiba lahiran?” pikirku. Kemarin, demi memastikan kesehatan si kakak, kami periksa USG ke dr. Rita. Alhamdulillah, semuanya baik, hanya saja dokter bilang ukuran janinku terlalu kecil untuk usia kehamilan 36 minggu—baru 2,3 kg. “Mbak nggak doyan makan, ya? Janinnya kecil. Makan yang banyak biar beratnya nambah!” Padahal selama hamil aku nggak pernah mual muntah, semua makanan masuk, apa pun yang ada di depan mata. Kok bisa ya masih kecil? 😢 Sudah sedih ditinggal suami, tambah sedih lagi dibilang janin kecil. Lalu aku curhat ke bumer tercinta.
“Gak usah khawatir, Nok. Dokter kadang suka sok tahu. Nggak apa-apa kecil di dalam, yang penting nanti besarnya di luar. Yang penting nggak BBLR (Berat Badan Lahir Rendah).”
Ah, langsung berkurang satu beban di hati. Love you, mom ❤️ Sore itu aku bersikeras mengantar suami ke stasiun, walaupun bumer melarang. Aku hanya ingin dapat ketenangan batin di perjalanan, biar masih bisa menggandeng tangannya. Kami berangkat naik grab. Aneh, sesampainya di stasiun aku cuma dadah-dadah, tanpa air mata seperti semalam. Pulang dari stasiun pun sempat mampir ke toko buku di pasar Weleri. Hari-hari berlalu cepat. Setiap punya waktu sendiri, aku selalu mengajak ngobrol si kakak di perut. “Kak, sabar dulu ya di perut umi. Keluarnya tunggu abi selesai urusan di Jakarta. Oke?” Begitu terus setiap ingat. Video call dengan suami pun selalu punya topik yang sama: “Udah mules belum?” Dan jawabanku selalu: “Belum.” Sebulan berlalu. Tanggal 11 Agustus pagi, akhirnya “my favorite doula” alias suamiku kembali. Alhamdulillah, masih sempat dielus-elus perut buncit ini. “Gimana yang? Udah ada tanda-tanda belum hari ini?” Aku menggeleng, lalu sambil tersenyum nakal menunjukkan artikel tentang induksi alami. “Ayo coba yang ini,” godaku. Jam 10 pagi bidan menelpon, memastikan kabarku. Saat tahu aku sudah lewat HPL 3 hari, ia memberi rujukan USG. Tapi karena hari Sabtu, rujukan itu baru bisa dipakai Senin. Semoga saja sudah lahir sebelum itu, aamiin. Aku mengeluh ke umi, “Kok nggak lahir-lahir, ya…” sambil minta maaf atas semua kesalahanku.
“Umi sudah maafin bahkan sebelum kamu minta maaf. Sekarang ajak omong lagi. Abi sudah pulang, sekarang boleh keluar… eeh jangan dulu deng! Umi masih ngurus jalan sehat kampung. Besok ikut jalan sehat dulu, biar dapat doorprize,” jawab umi sambil ketawa.
Fix, ini jawaban paling random dari seorang ibu 😂. Ahad, 12 Agustus 2018 pagi Rumah kami jadi pos transit hadiah doorprize jalan sehat. Hadiah-hadiah dari tetangga memenuhi ruang tamu. Walaupun sudah +4 hari dari HPL, aku tetap ikut jalan sehat. Setiap bertemu tetangga, pertanyaannya sama: “Mbak, masih kuat?” Aku cuma tersenyum sambil digandeng suami. Di tengah jalan kami mampir ke Indomaret untuk makan es krim 😂. Alhamdulillah, aku berhasil sampai garis finish. Begitu sampai, langsung dapat nasi bungkus dan air mineral. Tidak lama, nomor undian suami dipanggil, dapat hadiah buku. Dan ternyata… nomor undianku keluar untuk hadiah utama: kompor gas! Fix, si kakak ini cewek banget—belum lahir aja sudah mikir perabot dapur 😆. Habis jalan sehat, kami semua tepar. Jam 10 pagi, aku terbangun karena notifikasi WA dari bumer. “Nok, minta maaf ke umi. Siapa tahu mempermudah jalan lahirnya.” Tidak lama kemudian, aku merasa ada sensasi aneh di bawah perut. Seperti mules ringan. Refleks aku raba… dan ternyata ada lendir darah! “Yang, kayaknya mau lahiran!” teriakku sambil lari ke kamar orang tua. Serumah langsung heboh. Gimana kelanjutannya? Tunggu di Part II ya. (FYI: Saat nulis ini, si bayi sudah lahir sehat dan sekarang usianya 3 bulan 1 minggu 😍)

Kamis, 01 November 2018

Menikmati peran baru: Jadi Ibu!

Dulu, bebas sekali rasanya melakukan apapun sepuasnya. Tapi sekarang, di sela-sela waktu menyusui bisa disambi Googling saja Alhamdulillah.
Menjadi ibu baru adalah sebuah tantangan yang tiada habisnya bagiku. Dari mulai urusan mandiin, ganti popok, beli baju, imunisasi atau tidak, ASI atau sufor, sampe pada tahapan dikritik. Semuanya butuh kesiapan mental baja dan ilmu yang mumpuni. Aku sangat beruntung karena mempunyai support system yang kuat: suamiku sangat mendukungku, siap membantu yang kiranya dia bisa, ibuku dan bumer juga sangat membantu. Ibuku motivator ASI, sedangkan bumerku suka banget sama anak kecil. Kalo lagi nginep di rumah mertua, mandiin bayi adalah kerjaan bumer. Awalnya aku risih, kok malah bumer yang mandiin, tapi ternyata beliau memang suka anak-anak.

3 bulan terakhir support system dari WhatsApp Grup persiapan pra-pasca melahirkan juga sangat membantu, bisa mengurangi rasa panik saat ngadepin Newborn untuk pertama kalinya. Alhamdulillah ala kulli haal. Aku sangat menikmati peran baruku yang sekarang.
Rabbi habli minasshaalihin..
Semoga Allah memampukan kami mendidik generasi soleh-solehah.. aamiin 😍😍😍😍😍
New parent,
TTD, anggota baru barisan Mahmud

Minggu, 05 Agustus 2018

Euforia Bulan ini❤

Jika ada rasa sakit yang membahagiakan, itu adalah proses persalinan untuk menyambutmu, nak...

9 bulan sudah kau berada di rahimku. Masih 4 hari lagi menjelang HPL (Hari Perkiraan Lahir), tapi euforia menyambutmu begitu membuncah... 😘😘
In syaa Allah kami masih sabar menunggumu. Kapanpun kamu ingin keluar: umi, abi, nenek, kakek, dan om-ommu siap.
Ayo nak, kita berjuang bareng!

Hormon bahagia

Awal kehamilan, di trimester pertama, aku sama sekali tidak mengalami mual muntah seperti kebanyakan bumil lainnya. Jika ibu mertua tidak menemani USG ke obsgyn untuk pertama kalinya, aku juga masih gak yakin kalo lagi hamil😂😂😂😂

Melihatmu untuk pertama kalinya di layar USG... Bahagia tiada tara 😍 walopun terselip rasa takut di lubuk hati yang paling dalam: Apakah aku bisa menjadi madrasah utama yang baik bagimu? Bismillah, menjadi orang tua adalah menjadi orang yang harus berusaha berfikir positif.. agar selalu berjuang untuk anak-anaknya.😘

Edisi baper karena di usia kehamilan 36 week harus ditinggal suami ke Jakarta selama sebulan..

Kak, keluarnya nunggu Abi pulang mawon, nggih?

Karena doula terbaik adalah suami 😍

Kendal, 4 Agustus 2018

#tulisan menjelang persalinan

Selasa, 10 Juli 2018

Diorama Sepasang Al-Banna

Rani memandangi parasnya di cermin meja rias sambil menyisir rambutnya dengan pelan. Wajahku amat sederhana... Untuk seorang suami seperti Rayyan Fikri...
Tak sengaja pandangan matanya bertemu mata Ryan, suaminya di dalam cermin.
Deg! Hatinya seketika berdesir. Malu.
"Kau sedang memikirkan apa, sayang?" Tanya Ryan.
*Cuplikan novel

Kau tahu, sayang? Aku sangat bersyukur tidak melewatkan membaca satu novel ini: Diorama Sepasang Al-Banna nya Ari Nur. Salah satu novel yang sarat informasi tentang kehidupan berumah tangga, bagi yang ingin memelihara rumah tangganya sakinah mawadah warahmah. Walopun sebenarnya aku membacanya terlalu dini (saat masih kelas 2 SMP), yang menyebabkan virus ingin nikah muda wkwkwk.

Novel yang baik menurutku, karena menggambarkan bahwa tak ada yang namanya pernikahan yang sempurna. Tetapi semua anggota keluargalah yang berperan menyempurnakan pernikahan itu..

Tentang perkenalan singkat Rani dan Ryan, yang berujung pada taaruf dan menikah which is sama dengan yang kita alami..

Masih terekam dengan jelas, bulan puasa tahun lalu, saat ibumu meneleponku dengan tiba-tiba setelah malam perkenalan...
"Nok, mom serius lho pengen Ica jadi mantu mom," simple and to the point. Sebenarnya karena ini jugalah aku memantapkan hati untuk mulai "mengenalmu".

Ta'aruf, perkenalan secara kekeluargaan yang prosesnya hanya 3 bulan. Terhitung singkat, bukan?

Terimakasih, untuk menjadi teman diskusi yang mengasyikkan sehingga kita tak perlu rempong mengalami miskomunikasi seperti yang dialami Rani dan Ryan dalam novel. 😄

Maafkan aku jika masih berbenah diri sampai 9 bulan ini... Ya, kamu benar, apapun yang kita hadapi asalkan berdua denganmu terasa lebih menyenangkan..

#monthyversarry