Part I
Pagi itu aku terbangun dengan mata sembab. 16 Juli 2018—suamiku harus berangkat ke Jakarta selama 4 minggu, meninggalkanku yang sedang hamil 9 bulan (36 minggu, HPL 8-8-18). Perasaanku campur aduk. “Gimana kalau lahirnya maju dari HPL? Gimana kalau nanti malam tiba-tiba lahiran?” pikirku.
Kemarin, demi memastikan kesehatan si kakak, kami periksa USG ke dr. Rita. Alhamdulillah, semuanya baik, hanya saja dokter bilang ukuran janinku terlalu kecil untuk usia kehamilan 36 minggu—baru 2,3 kg.
“Mbak nggak doyan makan, ya? Janinnya kecil. Makan yang banyak biar beratnya nambah!”
Padahal selama hamil aku nggak pernah mual muntah, semua makanan masuk, apa pun yang ada di depan mata. Kok bisa ya masih kecil? 😢
Sudah sedih ditinggal suami, tambah sedih lagi dibilang janin kecil. Lalu aku curhat ke bumer tercinta.
“Gak usah khawatir, Nok. Dokter kadang suka sok tahu. Nggak apa-apa kecil di dalam, yang penting nanti besarnya di luar. Yang penting nggak BBLR (Berat Badan Lahir Rendah).”
Ah, langsung berkurang satu beban di hati. Love you, mom ❤️
Sore itu aku bersikeras mengantar suami ke stasiun, walaupun bumer melarang. Aku hanya ingin dapat ketenangan batin di perjalanan, biar masih bisa menggandeng tangannya. Kami berangkat naik grab. Aneh, sesampainya di stasiun aku cuma dadah-dadah, tanpa air mata seperti semalam. Pulang dari stasiun pun sempat mampir ke toko buku di pasar Weleri.
Hari-hari berlalu cepat. Setiap punya waktu sendiri, aku selalu mengajak ngobrol si kakak di perut.
“Kak, sabar dulu ya di perut umi. Keluarnya tunggu abi selesai urusan di Jakarta. Oke?”
Begitu terus setiap ingat. Video call dengan suami pun selalu punya topik yang sama: “Udah mules belum?” Dan jawabanku selalu: “Belum.”
Sebulan berlalu. Tanggal 11 Agustus pagi, akhirnya “my favorite doula” alias suamiku kembali. Alhamdulillah, masih sempat dielus-elus perut buncit ini.
“Gimana yang? Udah ada tanda-tanda belum hari ini?”
Aku menggeleng, lalu sambil tersenyum nakal menunjukkan artikel tentang induksi alami. “Ayo coba yang ini,” godaku.
Jam 10 pagi bidan menelpon, memastikan kabarku. Saat tahu aku sudah lewat HPL 3 hari, ia memberi rujukan USG. Tapi karena hari Sabtu, rujukan itu baru bisa dipakai Senin. Semoga saja sudah lahir sebelum itu, aamiin.
Aku mengeluh ke umi, “Kok nggak lahir-lahir, ya…” sambil minta maaf atas semua kesalahanku.
“Umi sudah maafin bahkan sebelum kamu minta maaf. Sekarang ajak omong lagi. Abi sudah pulang, sekarang boleh keluar… eeh jangan dulu deng! Umi masih ngurus jalan sehat kampung. Besok ikut jalan sehat dulu, biar dapat doorprize,” jawab umi sambil ketawa.
Fix, ini jawaban paling random dari seorang ibu 😂.
Ahad, 12 Agustus 2018 pagi
Rumah kami jadi pos transit hadiah doorprize jalan sehat. Hadiah-hadiah dari tetangga memenuhi ruang tamu. Walaupun sudah +4 hari dari HPL, aku tetap ikut jalan sehat. Setiap bertemu tetangga, pertanyaannya sama: “Mbak, masih kuat?” Aku cuma tersenyum sambil digandeng suami. Di tengah jalan kami mampir ke Indomaret untuk makan es krim 😂.
Alhamdulillah, aku berhasil sampai garis finish. Begitu sampai, langsung dapat nasi bungkus dan air mineral. Tidak lama, nomor undian suami dipanggil, dapat hadiah buku. Dan ternyata… nomor undianku keluar untuk hadiah utama: kompor gas! Fix, si kakak ini cewek banget—belum lahir aja sudah mikir perabot dapur 😆.
Habis jalan sehat, kami semua tepar. Jam 10 pagi, aku terbangun karena notifikasi WA dari bumer.
“Nok, minta maaf ke umi. Siapa tahu mempermudah jalan lahirnya.”
Tidak lama kemudian, aku merasa ada sensasi aneh di bawah perut. Seperti mules ringan. Refleks aku raba… dan ternyata ada lendir darah!
“Yang, kayaknya mau lahiran!” teriakku sambil lari ke kamar orang tua.
Serumah langsung heboh.
Gimana kelanjutannya? Tunggu di Part II ya. (FYI: Saat nulis ini, si bayi sudah lahir sehat dan sekarang usianya 3 bulan 1 minggu 😍)
0 komentar:
Posting Komentar