Sudah empat jam sejak masuk rumah sakit.
Bagaimana kalau dokter dan bidannya tidak sabar, lalu memutuskan SC? Aku harus bagaimana… 😫
Apalagi sekarang aku sudah tidak boleh bergerak sama sekali. Bedrest total.
Ya Allah… dengan segala kerendahan hati, hanya Engkau yang bisa memudahkan proses ini. Bantu hamba melahirkan anakku dengan selamat…
Pukul 22.00 – Setelah pemeriksaan VT berkali-kali
Umi dan ibu mertua masuk ke ruang bersalin. Suasana agak suram. Di ranjang sebelah, seorang ibu mengalami kejang dan muntah pasca persalinan sejak pukul 19.00 tadi. Para bidan dan perawat sibuk memantau detak jantungnya. Keringatku bercucuran.
Tut… tut… bunyi monitor di sebelah terus terdengar, memecah konsentrasiku.
Ya Allah… rasanya mau mati saja. Bukaan masih dua… 😭😭
“Masih kuat, Ca?” tanya Umi.
“Aku yakin Ica kuat,” ibu mertua ikut menyemangati.
Aku hanya mengangguk kecil. Kontraksi datang lagi, semakin kuat. Tarik napas dalam-dalam, hembuskan sambil beristighfar.
Sakitnya semakin menjadi. Syorrr… air ketubanku keluar lagi, bercampur darah.
“Yang… lihat mataku. Aku yakin kamu kuat, kamu bisa,” bisik suamiku sambil menggenggam erat tanganku.
Aku menatap matanya. Sorotnya tajam, penuh keyakinan. Bismillah… aku kuat. Sebentar lagi aku akan memeluk anakku.
“Makan kurma lagi, yuk?” tawarnya.
Pukul 23.00 – Dokter obgyn datang
“Pak, ada dua pasien. Yang ini preeklamsia pasca partus normal. Yang sebelah KPD dari magrib, masih bukaan dua,” jelas bidan pada dokter.
Setelah memeriksa ibu di sebelah, giliranku. Ternyata dokternya, dr. Joyo, teman kerja tantenku di RS lain.
“Masih kuat, Mbak? Ayo USG dulu.”
Aku tersenyum lemah. Detak jantung janin normal, ketuban masih bagus.
“Ayo sekarang VT, ya.”
“Mbak bidan, ini bukaan dua opo? Iki wes meh babaran! Udah bukaan delapan!”
ALHAMDULILLAH… ALLAHU AKBAR!
Suamiku tersenyum lebar, aku pun lega.
Sementara di luar ruang bersalin
“Gimana, Mas Ad?” tanya Umi.
“Alhamdulillah, udah bukaan delapan, Mi. Sebentar lagi lahir.”
Entah karena pemeriksaan awal yang keliru atau kekuatan doa yang membuat bukaan dua menjadi bukaan delapan dalam sekejap.
“Mbak besan, saya mau qiyamul lail dulu ya, semoga lancar,” kata ibu mertua sambil menuju mushola.
Menjelang mengejan
Badanku menggigil. Kakiku gemetar. Gamis dan kerudungku basah kuyup oleh ketuban dan darah.
“Bu… badan saya menggigil,” ucapku.
“Wajar, Mbak. Bajunya basah semua. Mau ganti repot, sudah waktunya. Saya kasih obat dulu, ya,” jawab bidan sambil memasukkan obat berbentuk bulat ke anus.
Alhamdulillah, darahnya bukan dari vagina. Nyeri berkurang. Setengah jam kemudian, dorongan kuat datang. Sudah waktunya mengejan!
“Bu bidan! Kayaknya udah mau ngeden!” seru suamiku.
Bidan-bidan bergegas masuk, memakai masker.
“Ayo, Mbak. Tarik napas panjang…”
Aku mengejan otomatis—sekali nafas, plonggg! Bayi lahir pukul 23.55 WIB, lima menit sebelum tanggal 13. Tidak sempat mendengar tangisnya. Tali pusar dipotong, ia langsung dibawa observasi.
Setelahnya…
Suami menatapku dengan sorot bangga.
“Terima kasih, Sayang. Terima kasih sudah kuat.”
Tiga puluh menit kemudian, bayi dibawa masuk bersama dua neneknya.
“Selamat ya, sudah jadi ibu,” ujar Umi sambil menggenggam tanganku.
“Selamat ya, Nok. Kamu kuat banget!” kata ibu mertua.
Wajahnya… matanya jelas dari abinya. Hidung mancungnya juga. Lalu, dari aku dapat apa? 😂
Tangisnya keras membahana.
“Yang, kakak tadi lilit tiga di leher. Waktu keluar agak biru.”
Aku terkejut. Di USG tidak terlihat. Ya Allah… rasanya ingin sujud syukur.
Alhamdulillah, bayi ini berjuang seperti ibunya. Untuk pertama kalinya, aku menggenggam tangan mungilnya. Untuk pertama kalinya, aku memeluknya.
Rabbii hablii minash shaalihiin…
0 komentar:
Posting Komentar