Cerita Persalinanku di bulan Agustus: bukaan momen
Alhamdulillah, mucus plug—lendir darah tanda mau melahirkan—keluar di saat yang paling tepat. Kok bisa? Ya gimana enggak, suami sudah pulang sejak kemarin, dan hari itu, 12 Agustus, bertepatan dengan jalan sehat kampung sekaligus hari Minggu. Artinya, semua anggota keluarga libur kerja. Lengkap! Inilah kerja sama perdana antara aku dan si sinok baby. Toss dulu, Gendukku sayang! 👏👏👏
Setelah sukses membangunkan satu rumah—yang baru saja lelah menyiapkan doorprize jalan sehat—aku langsung kirim foto lendir darah ke Bu Tina, bidan langganan. Balasannya singkat tapi tegas: “VT ke tempat praktik saya, ya.” Pukul 11 siang, kami sampai di rumah bidan.
Begitu jari Bu Tina menyentuh, aku spontan merintih, “Aduh, aduh…”
“Belum bukaan, Mbak Ica. Tapi sudah dekok,” jelasnya sambil tersenyum. “Mungkin lahirnya malam ini atau besok. Namanya juga anak pertama.”
Keluar dari rumah bidan, kami malah sempat mampir makan bakso di Pasar Kendal. Prinsip Umiku: “Lahiran itu harus kuat makan, biar kuat ngeden!”
Masuk waktu zuhur, kontraksi mulai datang. Awalnya timbul-tenggelam, kadang hilang kalau aku sibuk melakukan aktivitas lain. Karena masih kuat, aku malah squat berkali-kali supaya kepala bayi cepat turun.
Bumer menelepon, pesannya jelas: jangan tiduran, banyakin jalan. Ya sudah, aku dan suami keliling kompleks lagi—padahal pagi tadi sudah jalan sehat keliling desa. Kali ini tujuannya memancing kontraksi biar lebih intens.
Pukul 14.00, kontraksi mulai terasa lebih “serius”. Suami langsung menginstal contraction timer, tapi ritmenya masih nggak konsisten. Sampai rumah, aku masih sempat squat 15 menit (hebat nggak tuh?), tapi akhirnya duduk berhadapan sama suami, lalu membuka mushaf. Aku membaca Surat Maryam.
Sampai di ayat yang menceritakan Maryam sendirian menahan sakit kontraksi, aku tidak sanggup menahan air mata. “Kasihan banget Maryam… lahiran nggak ada yang nemenin…”
Suamiku menatapku tak bisa berkata-kata.
“Ntar kalau aku mau nyerah, kamu harus kuatkan aku, ya.”
Kami pun berpelukan seperti teletubbies—minus kostumnya.
Pukul 15.00, Umiku memberi saran: “Ke puskesmasnya habis Maghrib aja, biar bukaan udah banyak.” Aku mengangguk, berharap “aamiin” yang tulus di dalam hati.
Sore itu aku minta suami belikan pepaya. Bukan craving, tapi demi urusan BAB sebelum lahiran. Baru saja sendok terakhir masuk mulut, pyok!—ketubanku pecah. PANIK!
Umi langsung jadi komandan lapangan:
“Aabah siapin mobil. Mas Ad nggak usah mandi, siapin tas lahiran sama perlak buat duduk Ica di mobil!”
Masalahnya, jalur ke rumah bidan harus lewat arah Jakarta, dan… macet total. Bu Tina menyarankan ke RSI, tapi itu juga arah Jakarta. Solusi: RSUD Soewondo Kendal.
Adzan Maghrib berkumandang saat aku sampai di UGD. Hasil VT: baru bukaan 1. Karena ketuban sudah pecah, aku langsung diinfus antibiotik.
Pukul 19.00, aku dipindah ke ruang bersalin—pas banget ada ibu lain yang sedang crowning. Aku ikut ngilu. VT lagi: bukaan 2. Kontraksi makin intens, tapi aku masih sempat ke toilet (berkah pepaya, lancar). Keluar dari ruang bersalin, aku duduk di samping suami sambil meminta dibacakan Surat Maryam. Belum sampai setengah, suamiku malah ikut mewek.
Bumer dan Pakmer datang membawa kurma. “Ambil napas dalam, keluarkan sambil istighfar,” kata Bumer.
Kontraksi makin kuat. Setiap rasa sakit datang, bayangan semua kenakalan dan dosa pada Umi terputar di kepala seperti film hitam putih. Aku menggenggam tangan Umi:
“Maafkan semua kesalahan Ica, Mi. Maafkan kalau belum bisa jadi anak yang berbakti.”
Pukul 21.00, bidan menegur karena aku keluar dari ruang bersalin. Aku digiring kembali, apalagi setiap rembesan ketuban sudah bercampur darah. Gamis dan kerudung basah kuyup.
Jam 22.00, VT lagi: masih bukaan 2. Rasanya… potek hati! Mulesnya sudah level dewa, tapi progresnya lambat. Pikiran mulai kacau: “Jangan-jangan nanti SC?”
Dalam hati, aku hanya bisa berdoa:
Ya Allah, Engkau yang Maha Memudahkan… bantulah aku melahirkan anakku dengan selamat.
Bersambung di Part III…
0 komentar:
Posting Komentar