Jujur, ini adalah kegundahan hati yang paling dalam tentang
pertelevisan nasional. Setelah Korean wave menancapkan akarnya kuat-kuat di
Indonesia, menyusul serial dari Turki yang dipelopori oleh serial Masa Kejayaan
di ANTV. Lalu menjamur serial turki lainnya seperti Elif (SCTV), Shehrazat dan
Cinta Elif (ANTV), hingga Cinta di Musim Cherry (TransTV).
Senin, 21 Desember 2015
Minggu, 20 Desember 2015
Budaya Membaca ala Pesantren
Posted on Desember 20, 2015by Icafarisa with No comments
Aku bersyukur terlahir di lingkungan yang mencintai buku. Entah
seberapa dalam kecintaannya pada buku, tapi abahku sukaa sekali memborong buku. Walaupun seringkali buku-buku itu tidak dibaca sampai selesai. Abah banyak membeli
buku-buku motivasi, buku pendidikan, buku agama, novel dalam negeri, bahkan
novel luar negeri alias terjemahan yang menghiasi sebagian besar rak di rumah. Manfaat
dari buku-buku itu tentu saja sangat banyak—terutama untukku.
Aku tak ingat apa buku pertama yang selesai kubaca sampai
halaman terakhir, tapi buku lumayan tebal paling berkesan yang kubaca dan kunikmati
sampai halaman terakhir adalah buku karangan penulis Jepang, Tetsuko
Kuroyanagi; Totto Chan, Gadis Cilik di Jendela. Saat itu usiaku masih
delapan tahun. Sampai sekarang, sudah tiga kali aku membaca ulang novel itu. Dan
masih saja senyum-senyum sendiri saat membacanya.
Hingga saatnya aku pergi jauh dari rumah untuk masuk ke
salah satu pesantren putri di Ponorogo, Jawa Timur, kesukaanku membaca semakin
menjadi-jadi. Apalagi dengan jumlah buku yang beragam dan berlipatganda melimpahnya! Karena
sudah menjamur budaya pinjam-meminjam dan antri membaca buku dalam lingkungan
pesantren itu. Dari ratusan orang yang tinggal di pesantren, jika setiap orang
misalnya membawa 2-3 buku, bayangkan, berapa jumlah buku yang bisa kalian baca selama setahun?
Di pesantrenku hanya boleh bicara menggunakan bahasa Arab
dan Inggris, bergilir bergantian tiap minggunya. Saat itu, kata yang kupelajari
untuk mengantri meminjam buku adalah “Ba’daki!” dalam bahasa Arab dan “After you!”
dalam bahasa anggris, yang berarti, "habis kamu ya!". Jika ada seeorang yang
terlihat sedang membaca buku baru di kamar yang berisi 10-15 orang (Yaa, dulu aku
punya kamar se-rame itu!) bisa dipastikan, akan ada sahut-menyahut panjang dan
perdebatan “after you” tentang giliran membaca buku terbaru itu. Benar-benar
saat-saat yang mengasyikkan dan ngangeni.
Tahun pertama, buku yang menjamur masa itu adalah
novel-novel milik Asma Nadia; Aisyah Putri 1, 2, dan 3. Lalu Diorama Sepasang
Al-Banna dan Dilatasi Memori milik Ari Nur, Kumpulan cerpen Asma Nadia dan
Helvy Tiana Rosa. Dan... Tere Liye! OMG, ternyata aku sudah mengenal tere liye
bahkan sejak SMP!
Saat naik kelas, ketika aku mulai berani berinteraksi dengan
kakak angkatan, seleraku merambah buku-buku terjemahan luar negeri milik Torey
Hayden seperti Sheila; Luka Hati Seorang Gadis Kecil dan Kevin; sebuah Memoar dan The Devi wears Prada.
Lewati beberapa masa sibuk kelas 4-5, saat itu adalah tahun tersibuk di
pesantren, karena tahun SKU, SAKA Bhakti Husada, menjadi pengurus, hingga KMD. Otomatis
buku-buku yang bisa dibaca berkurang di waktu super sibuk itu. Ah, ya, tetap
saja kami tidak ketinggalan membaca Serial terakhir Harry Potter and the deathly hallows, novel
berbahasa Inggris yang dibawa langsung dari Amerika oleh guru Native kami, Miss
Natalie Binder. Tahun itu novel karya Dan Brown juga sedang menjamur di indonesia,
dan berkat meminjam aku bisa membaca dua di antaranya yaitu The Da vinci Code dan
Angels and Demons.
Saking banyaknya pilihan buku dan panjangnya antrian
membaca, otomatis kecepatan membacaku meningkat karena dikejar-kejar waktu. Betapa saat itu adalah masa emas dalam dunia
membacaku. Terima kasih, teman-teman dan para kakak dan adik kelas yang telah membawa
buku-buku keren saat itu ke pesantren!
Sore tadi aku mendapat oleh-oleh sebuah novel berjudul Menantu Untuk Ibu karangan Faradhina
Izdhihary yang sudah setengah-selesai. Mungkin malam ini tamat.
Lalu, buku apa yang sedang kamu baca saat ini?
Lalu, buku apa yang sedang kamu baca saat ini?
Ketika masakan terasa hambar #part 1
Posted on Desember 20, 2015by Icafarisa with No comments
Buat yang masih amatir di dapur, pasti pernah kan masak sesuatu yang rasanya… meh. Hambar.
Kurang asin, kurang sedap, kurang pedes. Semua serba “kurang” kecuali dramanya.
Kalau aku, solusinya gampang: nyambel!
Makanya, stok cabai di kulkas itu harga mati. Nah, di sela-sela aku mengulek cabai, Ummi memulai salah satu “adegan” favoritnya—eh, favorit dia, bukan aku.
Ummi: “Jadi, siapa dia?”
Aku: (berhenti ngulek) “Siapa apanya?”
Ummi: “Qia lagi deket sama siapa sekarang?”
Aku: “Nggak ada, Mi.”
Ummi: “Yang kemarin di foto itu siapa?”
Aku menarik napas panjang. Oke. Game over. Melawan radar seorang ibu itu mustahil.
Aku: “Sudah selesai kok… ya, setidaknya menurut Qia. Nggak lanjut, nggak ada magnetnya.”
Ummi: “Cuma itu? Bukan ada hal lain?”
Aku: “Beneran, Mi. Kemarin cuma BBM ucapan ulang tahun. That’s all.”
Ummi: “Jadi… Qia yang menghindar duluan?”
Aku mengaduk sambal pelan. Drama ini butuh background music.
Aku: “Nggak berasa apa-apa, Mi. Hambar. Pengen ngobrol santai, diskusi banyak hal… tapi dia super pendiam kalau di depan Qia. Padahal kata temennya, cerewet juga. Kok kalau depan Qia malah irit kata?”
Ummi tersenyum tipis, ala orang yang menyimpan rahasia.
Ummi: “Kamu kira dulu Abahmu langsung cerewet? Dulu, untuk menatap mata Ummi aja nggak berani. Malu.”
Aku: “Duh, Mi… zaman sekarang mana ada cowok segugup itu.”
Ummi: “Masih ada, Sayang. Sebagian, lah. Terus… gimana?”
Aku: “Gimana apanya, Mi?”
Ummi: “Nggak coba BBM lagi?”
Aku: “Sekali udah, ya udah. Masa Qia duluan? Gengsi, Mi!”
Ummi tidak membalas. Dia malah menuang cabai segunung ke cobek.
Aku: “Mi! Itu banyak banget! Ntar sakit perut, loh.”
Ummi: “Biar nggak gengsian!”
Aku: “Ih, Ummmiii!”
Ummi tertawa kecil, meninggalkan aku sendirian di dapur, ditemani cobek, ulekan, dan gengsi yang masih utuh.
Jumat, 18 Desember 2015
Passport to Happiness; A healing journey!
Posted on Desember 18, 2015by Icafarisa with No comments
Sudah lamaa sekali sejak terakhir kali aku meresensi buku yang kubaca. A passport to happiness. Sebuah buku tentang perjalanan seorang wanita yang terluka akan cinta dan kehidupan. Tetapi Ia bangkit dan kemudian menemukan dirinya yang sebenarnya: Penjelajah Dunia!
Perjalanannya dimulai dari Ubud, Bali, sesaat sebelum Ia bercerai dari pernikahan yang telah dijalaninya bertahun-tahun. Berkat seorang kenalannya, Ia dapat bertemu dengan I Ketut Liyer. Seorang tokoh yang terkenal dari novel best seller Eat, Pray, Love.
Minggu, 13 Desember 2015
Johor; Solusi Menginap Murah saat ke Singapura
Posted on Desember 13, 2015by Icafarisa with 2 comments
Sabtu, 12 Desember 2015
Menyebrang ke Singapura
Posted on Desember 12, 2015by Icafarisa with No comments

Kenapa transit di Batam dulu, tidak langsung Singapura?
Sebenernya akan lebih murah dan efisien jika beli tiket ke Changi, Singapura langsung. Karena harga tiket Semarang-Batam rata-rata lebih dari 700ribu dan masih harus beli tiket fast ferry dari Batam ke SG. Tapi karena sponsor utamaku (Abah) hari sabtu masih bekerja di Batam, Aku jalan-jalan dulu aja lah di Batam. Itung-itung bisa ngerasain naik fast ferry :D
Sekilas tentang Singapore Tourist Pass
Posted on Desember 12, 2015by Icafarisa with No comments
Dari pelabuhan Harborfront singapura, kami mengikuti penunjuk jalan menuju stasiun bawah tanah MRT. Yang ternyata cuma di bawah pelabuhan aja.
Karena ilmu per google an, Aku tau sedikit informasi tentang STP atau kartu ajaib yg "murah" untuk turis-turis hemat seperti kita. Singapore Tourist Pass. Fungsinya adalah untuk naik semua transportasi publik sepuasnya dalam kurun waktu tertentu
Langganan:
Postingan (Atom)