Kamis, 31 Juli 2025

Manajemen Perhatian

Pagi itu, aku memperhatikannya diam-diam. Tangannya cekatan menyapu halaman, tubuhnya membungkuk di bawah cahaya yang masih lembut. Tidak ada suara musik, tidak ada notifikasi dari ponsel yang menyela geraknya. Karena memang tidak ada ponsel. Hanya ada tubuh yang bekerja, pikiran yang hadir penuh, dan rutinitas yang dijalani tanpa jeda. Sementara aku, yang merasa sibuk, sering kehabisan waktu sebelum hari benar-benar dimulai. Kadang aku menyalahkan banyak hal—anak, pekerjaan, mood—tapi mungkin yang paling sering kucuri sendiri adalah perhatianku. Dan Mbak Is, tanpa teori produktivitas, tanpa gadget, tanpa aplikasi—sudah lebih utuh menjalani hidup daripada banyak dari kita yang mengaku sibuk. Kadang aku berpikir, mungkin rahasia produktivitas Mbak Is bukan terletak pada niat, tapi pada fakta sederhana: beliau tidak punya grup WhatsApp keluarga besar. Tidak ada notifikasi dari marketplace tengah malam, tidak ada video kucing lucu berdurasi 3 menit yang harus ditonton segera. Sementara aku—dengan semua fitur pengingat, alarm, dan to-do list digital—masih juga kewalahan menyelesaikan dua pekerjaan ringan. Mungkin karena Mbak Is menatap hidup, sementara aku menatap layar. Yang membuatku terdiam: Mbak Is tampak bahagia. Bukan karena ia punya banyak, tapi karena ia tak sibuk kehilangan. Tak satu kali pun kulihat dia memegang ponsel. Bagi kami, layar kecil itu adalah penghibur, pelarian, sekaligus pencuri waktu. Tapi Mbak Is? Ia menyelesaikan begitu banyak hal, sementara aku... kadang belum selesai mandi pun sudah tenggelam dalam notifikasi. Mungkin bukan manajemen waktu yang buruk—tapi manajemen perhatian. Dan Mbak Is, entah bagaimana, menguasainya dengan diam-diam.

0 komentar:

Posting Komentar