Kamis, 31 Juli 2025

Ketika Iman Terasa Kosong

Kadang aku meragukan status muslim yang kusandang selama ini. Aku seorang muslim sejak lahir. Sejak kecil, aku diajarkan Islam secara konservatif—tentang halal dan haram, dosa dan pahala, surga dan neraka. Bahkan aku pernah tinggal di pesantren modern selama enam tahun, mendalami ilmu fikih, akidah, hingga bahasa Arab yang menjadi bahasa utama kitab-kitab klasik. Aku cukup fasih menerjemahkan ayat-ayat Al-Qur'an dan teks-teks keagamaan. Secara lahiriah, aku adalah seorang muslim yang 'siap jadi imam'. Aku masih melaksanakan salat lima waktu. Jika dilihat dari luar, mungkin hidupku tampak utuh dalam bingkai agama. Tapi entah mengapa, ada satu hal yang tidak bisa kujelaskan: aku merasa kosong. Aku salat, tapi tidak tenang. Aku membaca doa, tapi terasa hampa. Aku mengangkat tangan, tetapi rasanya seperti bicara ke dinding. Aku melakukan semua yang diajarkan, tetapi hatiku tak kunjung merasa dekat dengan Allah. Aku merasa seperti sedang mengikuti ritual, bukan menjalani hubungan. Aku menjalankan agama, tapi kehilangan makna. Apakah ini wajar? Apakah ini bagian dari krisis spiritual yang juga dialami banyak muslim lainnya? Ataukah hanya aku yang sedang tersesat diam-diam di dalam kerumunan orang-orang beriman? Aku bertanya-tanya: apakah iman itu seharusnya selalu membuat hati tenang? Mengapa aku justru merasa asing dalam identitas yang sejak lahir kupakai? Mengapa semakin aku "tahu" tentang agama, semakin terasa jauh hubunganku dengan-Nya? Kadang aku iri pada mereka yang bisa menangis saat berdoa. Yang bisa merasa dekat dengan Allah hanya dengan menyebut nama-Nya. Yang bisa bangun malam dengan hati ringan dan rindu, bukan karena rasa bersalah atau takut. Tapi mungkin inilah fase yang perlu dilewati. Mungkin ini bukan kegagalan iman, tapi fase pendewasaan iman. Mungkin selama ini aku terlalu sibuk menjadi "muslim yang benar" sampai lupa menjadi "manusia yang jujur" di hadapan Tuhannya. Iman tidak selalu hadir dalam bentuk keyakinan yang menggelegar. Kadang ia hadir sebagai keraguan yang lembut, yang memaksa kita untuk kembali mencari. Mungkin justru di sanalah pintu iman yang lebih dalam terbuka. Hari ini, aku belum menemukan jawaban. Tapi setidaknya aku tahu satu hal: keraguan ini bukan akhir dari segalanya. Ia mungkin adalah ajakan lembut dari Tuhan agar aku berhenti menjalani agama sebagai kewajiban, dan mulai merasakannya sebagai hubungan. Dan jika kamu juga pernah merasa seperti ini, mungkin kita tidak sedang jauh dari Tuhan. Mungkin kita justru sedang dipanggil-Nya lebih dekat—dengan cara yang lebih jujur, lebih sunyi, dan lebih manusiawi.

0 komentar:

Posting Komentar